REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dinasti Mamluk merupakan sebuah kerajaan Islam yang memerintah di Mesir pada saat dunia Islam tengah mengalami desentralisasi dan disintegrasi politik. Kekuasaan Mamluk di Mesir dimulai ketika terjadi perpecahan kekuasaan di kalangan anggota keluarga Salahuddin al-Ayyubi, pendiri Dinasti Ayubiyah, penguasa Mesir kala itu.
Ketika Turansyah, yang merupakan keturunan terakhir dari Dinasti Ayubiyah, naik takhta menggantikan ayahnya, al-Malik as-Salih, golongan Mamluk merasa terancam karena Turansyah lebih dekat kepada tentara asal Kurdi daripada mereka. Pada 1250 M, Mamluk di bawah pimpinan Aybak dan Baybars berhasil membunuh Turansyah.
Istri al-Malik as-Salih, Syajarah al-Durr, seorang yang juga berasal dari kalangan Mamluk, berusaha mengambil kendali pemerintahan sesuai dengan kesepakatan golongan Mamluk itu. Kepemimpinan Syajarah hanya berlangsung sekitar tiga bulan.
Ia kemudian menikah dengan seorang tokoh Mamluk bernama Aybak dan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepadanya. Akan tetapi, segera setelah itu, Aybak membunuh Syajarah al-Durr dan mengambil sepenuhnya kendali pemerintahan.
Pada mulanya, Aybak mengangkat seorang keturunan penguasa Ayubiyah bernama Musa sebagai sultan syari (formal) di samping dirinya yang bertindak sebagai penguasa yang sebenarnya. Namun, Musa akhirnya dibunuh oleh Aybak.
Ini merupakan akhir dari Dinasti Ayubiyah di Mesir dan awal dari kekuasaan Dinasti Mamluk. Dinasti Mamluk berkuasa di Mesir dari 1250 sampai 1517 M, sebelum akhirnya ditaklukkan oleh Bani Usmani.
Wilayah kekuasaan Dinasti Mamluk meliputi Mesir, Suriah, Hijaz, Yaman, dan daerah di sepanjang aliran Sungai Eufrat. Saat berkuasa, dinasti ini berhasil menumpas bersih sisa-sisa tentara Perang Salib dengan mengusirnya dari Mesir dan Suriah.
Begitu juga ketika bangsa Mongol berhasil menghancurkan dan merebut negeri-negeri yang dikuasai oleh Islam, Dinasti Mamluk menjadi satu-satunya penguasa Muslim yang berhasil mempertahankan wilayah kekuasaannya. Oleh karena itu, Dinasti Mamluk di Mesir sangat berjasa dalam mengembangkan dan mempertahankan dunia Islam.
Kesultanan Mamluk mencapai masa yang damai di bawah kekuasaan Sultan al-Nasir Muhammad. Pada periode ketiga kekuasaannya, pasukan Kristen dan Mongol semakin lemah karena kekalahan dan juga konflik internal di antara mereka. Pernah suatu waktu, pemimpin Mongol, Oljeitu, menguasai benteng-benteng Mamluk. Namun, mereka akhirnya pergi karena tidak kuat dengan adanya cuaca panas ekstrem pada 1312 sampai 1313 M.
Pada periode ketiganya ini, Sultan al-Nasir juga menduduki posisi politik yang bagus di mata internasional. Banyak utusan luar negeri yang datang menemuinya untuk menjadi teman atau meminta bantuan. Dua kunjungan yang paling dikenang. Pertama adalah kunjungan Paus John XXII pada 1327 dan kunjungan Raja Philip VI dari Prancis.
Delegasi yang berjumlah 120 orang itu meminta kepada Sultan al-Nasir untuk memberikan Jerusalem dan kawasan Pantai Levantine. Tentu saja, rombongan itu kemudian diusir. Lamanya periode kekuasaan Sultan al-Nasir, yaitu selama tiga periode, memungkinkannya untuk mendirikan berbagai macam bangunan. Dia berhasil membangun kanal yang menghubungkan Alexandria dengan Sungai Nil.
Kanal itu dibuka untuk transportasi pada 1311 M. Selain itu, dia juga membangun alun-alun besar, seperti al-Midan al-Nasiri, Qasr al-Ablaq, dan rekonstruksi Iwan (tempat ini dibangun oleh ayahnya Qalawun). Sebagai tambahan, dia mendirikan madrasah dan pemandian umum, serta merenovasi 30 masjid.