Ahad 12 May 2019 13:44 WIB

Ubadah Bin Shamit Mengkritik Pemimpin

Dialah utusan kaum Anshar yang pertama kali mendatangi Makkah.

Pengunjung berjalan dengan latar kubah hijau yang menjadi lokasi makam Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar as Siddiq, dan Umar bin Kattab di Masjid Nabawi, Madinah, Arab Saudi, Senin (6/5/2019).
Foto: Antara/Aji Styawan
Pengunjung berjalan dengan latar kubah hijau yang menjadi lokasi makam Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar as Siddiq, dan Umar bin Kattab di Masjid Nabawi, Madinah, Arab Saudi, Senin (6/5/2019).

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Ratna Ajeng Tejomukti

Ubadah bin Shamit merupakan sahabat Rasulullah yang berasal dari kaum Anshar. Mereka adalah para penolong sang Nabi. Dalam kondisi apapun mereka siap untuk membantu Nabi Muhammad berdakwah. Karena itulah mereka dipanggil dengan Anshar, yang berarti penolong.

Pejuang Islam ini dikenal sebagai pemimpin yang dipilih Nabi SAW sebagai utusan mewakili keluarga dan kaum kerabat mereka. Dia adalah orang pertama yang datang ke Makkah untuk mengangkat baiat kepada Rasulullah SAW dan masuk Islam, yakni baiat yang terkenal sebagai Aqabah. Ia termasuk 12 orang beriman yang segera menyatakan keislaman.

 

Baiat Aqabah kedua

Pada sebuah musim haji terjadilah Baiat Aqabah kedua yang diikuti 70 orang beriman. Ketika itu Ubadah menjadi utusan dan wakil orang-orang Anshar. Kemudian, ketika peristiwa berturut-turut silih berganti, saat-saat perjuangan, dan pengorbanan susul-menyusul tiada henti. Ubadah tak pernah tertinggal dalam setiap peristiwa.

Semenjak bersyahadat, ia memikul segala tanggung jawab akibat pilihannya itu dengan sebaik-baiknya. Sejak dulu, keluarga Ubadah telah terikat dalam perjanjian dengan orang-orang Yahudi Bani Qainuqa' di Madinah. Ketika Rasulullah SAW bersama para sahabatnya hijrah ke kota ini, orang-orang Yahudi memperlihatkan sikap damai dan persahabatan terhadapnya.

Namun, pada hari-hari menjelang Perang Badar, orang-orang Yahudi di Madinah mulai menampakkan permusuhannya. Salah satu kabilah mereka, yaitu Bani Qainuqa' membuat ulah untuk menimbulkan fitnah dan keributan di kalangan kaum Muslimin.

Melihat hal ini, Ubadah secepatnya ia melakukan tindakan yang setimpal dengan jalan membatalkan perjanjian dengan mereka. Ia berkata, Saya hanya akan mengikuti pimpinan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman!

Tidak lama kemudian turunlah ayat Alquran memuji sikap dan kesetiaannya ini melalui firman-Nya, Dan barang siapa yang menjadikan Allah dan rasul-Nya serta orang-orang beriman sebagai pemimpin maka sungguh, golongan Allah lah yang beroleh kemenangan. (QS al-Maidah: 56).

Ubadah bin Shamit yang mulanya hanya menjadi wakil kabilahnya, sekarang meningkat menjadi salah seorang pelopor Islam. Pada suatu hari, Rasulullah SAW menjelaskan, tanggung jawab seorang amir atau wali. Didengarnya Rasulullah menyatakan nasib yang akan menimpa orang-orang yang melalaikan kewajiban di antara mereka atau memperkaya dirinya dengan harta, tubuh Ubadah gemetar dan hatinya berguncang.

Ia bersumpah kepada Allah tidak akan menjadi pemimpin walau atas dua orang sekalipun. Dan sumpahnya ini dipenuhi sebaik-baiknya dan tak pernah dilanggarnya.

Pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Umar bin Khattab, tokoh yang bergelar al-Faruq ini pun tidak berhasil mendorongnya untuk menerima suatu jabatan. Kecuali dalam mengajar Umar dan memperdalam pengetahuan mereka dalam soal agama.

Memang, inilah satu-satunya usaha yang lebih diutamakan Ubadah dari lainnya, menjauhkan dirinya dari usaha-usaha lain yang ada sangkut pautnya dengan harta benda dan kemewahan serta kekuasaan. Oleh sebab itu, ia berangkat ke Suriah dan merupakan salah seorang dari tiga sekawan, bersama Mu'adz bin Jabal dan Abu Darda, menyebarkan ilmu, pengertian, dan cahaya bimbingan di negeri itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement