Jumat 08 Jan 2016 09:01 WIB

Gus Sholah: Kritik dengan Data Bukan Fitnah

Rep: Sri Handayani/ Red: achmad syalaby
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Salahuddin Wahid alias Gus Sholah.
Foto: Republika/Yasin Habibi
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Salahuddin Wahid alias Gus Sholah.

REPUBLIKA.CO.ID, Islam tak menafikan adanya pemimpin yang zalim dalam menjalankan pemerintahannya. Pemimpin Pondok Pesantren Tebuireng KH Salahuddin Wahid berpendapat, pemimpin zalim dapat diartikan sebagai pemimpin yang melanggar aturan dan tidak memperhatikan rakyat, menyebabkan rakyat menderita, dan tidak adil.

Menurut pria yang akrab disapa Gus Sholah ini, tidak ada perbedaan signifikan dalam mengkritik pemimpin yang zalim. Kritik harus tetap disampaikan dengan cara yang baik dan data yang valid. “Dengan fakta-fakta dan data-data, bukan dengan fitnah,” ujar dia.  

Kritik, kata Gus Sholah, hendaknya disampaikan terkait dengan kebijakan yang dihasilkan oleh pemimpin, bukan pribadi sang pemimpin itu sendiri. Ini harus disampaikan dengan bahasa yang baik, tidak kasar, dan tidak mengandung sentimen pribadi. Pada masa sekarang, kritik dapat dilakukan dengan berbagai media, baik surat terbuka, televisi, Facebook, Twitter, bahkan dengan demonstrasi. “Asal sesuai dengan aturan yang ada,” kata putra pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini.  

Dalam konteks wilayah tertentu, seperti kota atau negara, menteri ataupun pejabat di bawah presiden atau gubernur juga boleh memberikan saran. Namun, ini tidak boleh disampaikan di ruang-ruang terbuka. Para menteri dapat bertemu langsung dengan presiden untuk meminta kebijakan ditinjau kembali. Jika keputusan telah dibuat, kata Gus Sholah, menteri harus menerima keputusan tersebut dan tidak menyampaikan protesnya secara terbuka di luar pertemuan tersebut. 

Hal serupa juga berlaku bagi para ulama. Para ulama yang ingin menyampaikan kritik dan saran hendaknya disampaikan melalui organisasi. Mereka dapat meminta waktu untuk bertemu langsung dengan para pemimpin dan menyampaikan kritik serta saran secara santun. Semakin jelas dan detail kritik yang diberikan, akan semakin baik. 

Adapun kritik yang disampaikan melalui meme dan berita-berita di media sosial, menurut Gus Sholah, tidak dapat disebut sebagai kritik. Meme lebih bersifat sindiran, sementara berita yang disebar di media sosial harus dipastikan dulu kebenarannya. “Untuk pers kan juga ada, cover bold side. Informasi dari kedua belah pihak harus berimbang,” ujar dia. 

Gus Sholah menekankan agar berita yang belum jelas hendaknya diklarifikasi terlebih dahulu agar tidak menjadi fitnah. Apabila ditemukan hal buruk dalam kebijakan yang dibuat oleh pimpinan, kritik itu hendaknya tetap disampaikan sesuai dengan aturan yang berlaku. “Kalau kita menduga korupsi, kita laporkan ke KPK. Kalau itu perilaku pribadi, misal selingkuh, sebaiknya kita tidak membuka aib itu ke publik.”

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement