REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Diriwayatkan dari Abu Syuraih RA, Rasulullah SAW pernah bersabda, "Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman."
Seseorang lalu bertanya, "Siapa ya Rasulullah?" Beliau bersabda, "Orang yang membuat tetangganya merasa tidak aman dari kejahatannya" (HR Bukhari).
Tentu, ada hal menarik dari redaksi hadis itu. Rasulullah SAW bersumpah sampai tiga kali dengan nama Allah. Bahkan, beliau menjatuhkan vonis yang sangat keras "tidak beriman". Itu tatkala beliau mengungkapkan esensi hidup bertetangga.
Rasulullah SAW tidak pernah mengulang-ulang sebuah pernyataan, kecuali pernyatan tersebut menyangkut sesuatu yang penting. Dengan redaksi seperti ini tergambar bahwa hubungan bertetangga menempati posisi yang sangat penting dalam Islam.
Sebagai perbandingan, Rasulullah SAW pernah mengulang-ulang larangan agar kita jangan marah. Ada seorang lelaki berkata pada Rasulullah SAW, "Berilah aku nasihat". Beliau menjawab, "Jangan marah". Maka pernyataan diulanginya sampai tiga kali (HR Bukhari). Marah adalah awal dari bencana dan dampak yang ditimbulkannya pun bisa berlipat-lipat. Karena pentingnya menjaga marah, maka Rasul pun mengulangnya sampai tiga kali.
Menurut Muhammad Abdurrazak Mahili kata "tetangga" dalam hadis ini dapat dinisbatkan pada empat kelompok orang. Pertama, orang yang serumah dengan kita. Kedua, orang yang bersebelahan dengan tempat tinggal kita. Ketiga, penghuni empat puluh rumah dari semua sisi yang ada di sekitar tempat tinggal kita. Keempat, orang yang tinggal senegara dengan kita.
Apa yang diungkapkan Abdurrazak Mahili hanya menyangkut hubungan secara orang perorang, padahal konteks hidup bertetangga bisa lebih luas lagi jangkauannya. Karena itu, berbicara tentang hidup bertetangga, hakikatnya berbicara pula kehidupan dua bangsa. Saat kita tidak menyukai tetangga yang selalu mencampuri kehidupan tetangga lainnya, maka ketika itu pula kita tidak menyukai sebuah negara yang selalu mencampuri urusan negara lainnya.
Mengapa Rasulullah SAW mengajurkan umatnya untuk berbuat baik pada tetangga dan tidak menyakinya sedikit pun? Dalam Islam, akhlak mulia adalah kunci pertama dan utama. Ia adalah bukti keimanan yang harus terwujud dalam kehidupan seorang Muslim. Memuliakan tetangga adalah salah satu di antaranya.
Jadi, memuliakan tetangga adalah perwujudan keimanan dan sebentuk akhlak mulia. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka ia harus memuliakan tetangganya". Dalam hadis lain, Rasulullah SAW mengungkapkan bahwa Jibril selalu memerintahkannya untuk berbuat baik kepada tetangga, sampai-sampai beliau mengira para tetangga termasuk salah satu ahli waris. Ada kisah pula tentang seorang wanita ahli ibadah, tapi ia divonis oleh Rasul sebagai ahli neraka. Apa sebabnya? Karena ia selalu menyakiti tetangganya.
Keterangan-keterangan tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa kebaikan tidak sekadar dengan Allah (habluminallah), tapi harus mencakup pula hubungan dengan sesama; tetangga, dalam konteks ini. Karena itu, Rasul memerintahkan Abu Dzar (dan istrinya) agar saat memasak memperbanyak kuahnya sehingga tetangga dapat ikut merasakannya. Rasul pun menyatakan tidak beriman seseorang yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya meringis kelaparan.
Selain bukti keimanan, memuliakan tetangga pun dapat melahirkan keharmonisan hidup di masyarakat. Dengan saling memuliakan antartetangga, tidak akan ada lagi permusuhan, kebencian, kesenjangan, egoisme, dan saling merendahkan. Dan, inilah landasan awal bagi terbangunnya sebuah peradaban yang besar.