Selasa 02 Apr 2019 14:29 WIB

Mengenal Kalila wa Dimna

Kalila wa Dimna, kumpulan cerita fabel Arab.

Ilustrasi Kitab Kuning
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi Kitab Kuning

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lihat rajaku, singa itu ada di sini, ujar si kelinci sambil menunjuk ke dalam sumur. Sang singa kemudian melongok ke dalam sumur dan melihat wajahnya terpantul di air yang jernih. Mengira wajah itu milik saingannya, dengan marahnya singa itu melompat ke dalam sumur dan akhirnya tenggelam. Sejak itu, para binatang pun dapat hidup dengan tenang.

Cerita itu hanya sepenggal kisah yang terdapat dalam Kalila wa Dimna, kumpulan cerita fabel Arab. Dalam dunia kesusasteraan, fabel biasanya diartikan sebagai kisah-kisah atau dongeng yang menggunakan binatang sebagai tokoh utama. Para binatang itu berlaku selayaknya manusia. Biasanya fabel diciptakan sebagai refleksi kehidupan manusia dan ditujukan untuk memberikan pelajaran moral.

Baca Juga

Tujuan itu pula yang mendasari munculnya Kalila wa Dimna. Jika harus memutar balik jam pasir sejarah, kisah-kisah dongeng dalam Kalila wa Dimna sebenarnya bukan ditulis dalam bahasa Arab. Asal usul fabel yang masih menjadi bacaan kesukaan hingga saat ini berada jauh di Kashmir, India. Sebuah kitab berbahasa Sansekerta berjudul Panchatantra adalah sumber dari fabel yang sudah berusia sekitar 2.000 tahun itu.

Panchatantra adalah kitab yang ditulis untuk tiga pangeran muda di kerajaan India. Tiga pangeran ini sangat sulit menangkap pelajaran. Padahal, mereka adalah penerus takhta kerajaan. Akhirnya, para wazir diperintahkan untuk menuliskan kisah-kisah yang berisi nilai-nilai kebijakan dan moral dalam sebuah kitab yang dibuat pada sekitar abad ke-4 itu. Fabel dipilih sebagai gaya bercerita dalam kitab itu, karena kisah-kisah dengan tokoh binatang akan lebih mudah dipahami oleh para pangeran itu.

Enam bulan kemudian, para pangeran yang sebelumnya sulit sekali menerima nilai-nilai kebijakan, dengan mudah menyerap pesan-pesan moral dalam fabel tersebut. Pada akhirnya, mereka bisa memimpin dengan adil.

Sekitar 200 tahun kemudian, penguasa Persia mengirim dokter kerajaan yang bernama Burzoe ke India. Misi yang diemban oleh Burzoe adalah menemukan obat yang kabarnya dapat membuat peminumnya bisa hidup abadi. Gagal mendapatkan obat itu, Burzoe justru pulang ke Persia dengan membawa salinan Panchatantra.

Dia mengatakan, kitab itu memiliki khasiat yang sama hebatnya dengan obat yang diinginkan Raja Persia. Sebab, dalam kitab itu berisi nilai-nilai kebajikan untuk pembacanya. Kitab itu lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Persia kuno.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement