REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebudayaan Arab telah mengembangkan tradisi lisan yang amat kaya sejak zaman silam. Ada dua sebutan untuk profesi juru cerita dalam konteks setempat, yakni rawi (rawiya) dan hakawati. Kehadiran seorang rawi menjadi pusat perhatian di ruang-ruang publik, semisal pasar, kedai kopi, pesta, atau pertemuan kabilah-kabilah.
Rawi juga merupakan figur yang berpengetahuan luas dan sarat pengalaman. Sebab, dia sering berinteraksi dengan macam-macam orang dari pelbagai budaya, mulai dari kelas sosial tinggi sampai kawula biasa. Kefasihannya bercerita membuatnya terkenal. Apalagi, cerita-cerita yang dibawakannya tidak jarang mengandung informasi terkini atau kabar menarik dari negeri-negeri jauh.
Sementara itu, seorang hakawati cenderung diperankan pengelana. Kisah-kisah yang disampaikannya berupa bait-bait berirama yang nikmat didengar. Akan tetapi, struktur cerita yang disampaikannya lumayan rumit.
Belum habis sebuah kisah dinarasikan, seorang hakawati akan menyampaikan kisah lain yang masih berhubungan dengan satu atau beberapa tokoh cerita. Kisah-kisah berikutnya dapat hadir ketika jalan cerita yang ada masih menggantung. Dalam keilmuan sastra, format naratif demikian disebut cerita berbingkai.
Ketika tampil di depan umum, seorang hakawati menggunakan berbagai bentuk cerita, semisal alegori, satir, atau anekdot. Ekspresi wajah dan gestur tubuhnya mendukung penggambaran suasana dan konflik yang dialami tokoh-tokoh cerita. Para penonton pun semakin terkesima.
Seorang juru cerita (hakawati) [sumber: tangkapan layar YouTube, Siria Damasco- The last hakawati]
Secara kebahasaan, rawi berarti ‘menceritakan’. Bahasa Indonesia mengadopsinya untuk kata riwayat, yang berarti ‘cerita turun-temurun’. Sementara itu, hakawati berasal dari hakaya yang berarti ‘cerita’. Hikayat merupakan pengembangan selanjutnya dari kata tersebut yang berarti ‘kisah’.
Dalam kesusastraan Indonesia, hikayat menjadi sebutan untuk karya sastra lama yang berbentuk prosa dan berbahasa Melayu. Hal ini menegaskan besarnya pengaruh Arab terhadap kebudayaan kita.
Baik rawi maupun hakawati kedatangannya selalu dinanti-nanti. Rosa Bustam dkk. dalam Sejarah Sastra Arab dari Beragam Perspektif menerangkan ada dua faktor yang berpengaruh signifikan dalam perkembangan sastra era Jahiliyah (pra-Islam), yakni Pasar ‘Ukadz dan Hari-hari Orang Arab (Ayyam al-‘Arab).
Bagi masyarakat setempat, pasar tidak hanya tempat aktivitas jual-beli, tetapi juga bertemunya para pakar sastra dari masing-masing kabilah. Mereka unjuk kebolehan dengan melantunkan karya-karyanya agar dinikmati khalayak hadirin. Sesudah itu, para kritikus mengomentari pertunjukan mereka. Pasar ‘Ukadz menjadi parameter untuk mengukur terkenal atau tidaknya seorang juru cerita.
Pasar Ukaz
Ayyam al-‘Arab merupakan nama untuk masa konflik “perang dingin” yang dialami masyarakat Arab Jahiliyah. Pada saat itu, antarkabilah saling menyerbu, tetapi tidak sampai memunculkan pertumpahan darah skala besar. Satu kubu hanya lebih sering memperhadapkan juru bicaranya dengan juru bicara pihak lawan.
Dua pihak yang terkenal ialah Suku Bakr versus Suku Taghlib. Narator dari Bakr tampil ke depan untuk menuturkan sajak panjang yang isinya menjelak-jelekkan Taghlib. Demikian pula sebaliknya, juru cerita Taghlib mencemooh Bakr melalui narasinya.