Sabtu 02 Mar 2019 01:10 WIB

Anwar Abbas: Kata Kafir Terkait Masalah Keimanan

Kata 'kafir' sebaiknya tidak digunaka pada non-Muslim.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Andi Nur Aminah
Anwar Abbas
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Anwar Abbas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) beberapa hari lalu menggelar kegiatan Bahtsul Masail Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar NU 2019. Salah satu yang dibahas dalam kegiatan itu adalah penggunaan istilah atau kata kafir.

Dalam sidang komisi itu disebutkan jika kata 'kafir' sering kali disebutkan oleh sekelompok orang untuk melabeli kelompok atau individu yang bertentangan dengan ajaran yang mereka yakini, kepada non-Muslim, bahkan terhadap sesama Muslim sendiri. Atas dasar inilah, Bahtsul Masail Maudluiyah memutuskan tidak menggunakan kata kafir bagi non-Muslim di Indonesia.

Baca Juga

“Kata kafir menyakiti sebagian kelompok non-Muslim yang dianggap mengandung unsur kekerasan teologis,” kata wakil ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Abdul Moqsith Ghazali, Jum'at (1/3).

Menanggapi hal ini, Anwar Abbas secara pribadi mengemukakan pendapatnya perihal penggunaan kata kafir. Ia menyebut kata kafir disematkan kepada mereka yang tidak mempercayai Islam dan ajaran Allah SWT.

"Dasarnya adalah firman Allah SWT dalam salah satu ayat dalam alquran yang artinya, "Sungguh telah kafir orang yang berkata bahwa Allah itu adalah almasih ibnu maryam". Jadi dengan demikian orang yang mempertuhankan Isa almasih dan atau tidak mempertuhankan Allah swt dalam sistim keyakinan Islam disebut kafir. Dan kita umat islam  tidak punya hak untuk mengganti sebutannya," ujarnya dalam keterangan yang didapat Republika, Sabtu (2/3).

Ia melanjutkan, jika berbicara tentang suatu negara, maka semua yang tinggal di wilayah suatu negara disebut dengan penduduk dari negara yang bersangkutan. Dan jika yang menjadi penduduk itu adalah orang yang diakui secara hukum sebagai warga negara, maka ia disebut dengan warga negara itu.

Untuk kasus di Indonesia, mereka yang diakui secara hukum sebagai warga dari negara republik indonesia disebut dengan warga negara indonesia (WNI). Sementara yang tidak diakui secara hukum sebagai warga negara indonesia tapi tinggal di Indonesia, mereka disebut dengan warga negara asing (WNA).

"Oleh karena itu, kata kafir tidak terkait dengan negara. Kata kafir terkait dengan masalah keimanan kepada Allah SWT. Kalau dia tidak beriman kepada Allah, maka dia di dalam Islam disebut dengan kafir. Tapi kalau kita bicara tentang negara, maka kosa kata yang harus kita pakai adalah penduduk atau warga negara, bukan kata kafir atau tidak kafir," lanjutnya.

Pria kelahiran 1955 ini juga menunjukkan penggunaan sebutan lain bagi mereka yang beragama selain Islam. Warga tersebut bisa disebut dengan penduduk beragama Kristen, Katolik, Hindu, atau Budha sesuai dengan kepercayaan yang ia anut. Bukan dengan sebutan kafir. Atau pilihan lainnya bisa dengan istilah Islam dan non-Islam, Kristen dan non-Kristen.

"Kata non dalam hal ini dipakai untuk yang selain dari agama yang dimaksud. Kalau yang dimaksud Islam maka yang lainnya disebut non-Islam. Tapi kalau yang dimaksud Kristen maka yang lainnya disebut dengan non-Kristen. Begitulah seterusnya untuk memudahkan dalam pengucapannya," ujar Anwar Abbas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement