Jumat 01 Mar 2019 21:01 WIB

HOS Tjokroaminoto, 'Raja Jawa tanpa Mahkota' (3-Habis)

Tjokroaminoto mengajarkan pentingnya sikap dan pola pikir egalitarian.

Pengunjung mengamati koleksi yang terdapat di Museum HOS Tjokroaminoto di Jalan Peneleh VII No 29, Surabaya, Jawa Timur, Senin (28/1/2019).
Foto: Antara/Zabur Karuru
Pengunjung mengamati koleksi yang terdapat di Museum HOS Tjokroaminoto di Jalan Peneleh VII No 29, Surabaya, Jawa Timur, Senin (28/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam rentang waktu yang relatif singkat, nama Sarekat Dagang Islam (SDI) sudah terkenal di mana-mana. Banyak pengusaha Pribumi di seluruh Hindia Belanda yang berbondong-bondong mendaftarkan diri.

Dengan AD/ART yang baru, SDI berubah menjadi Sarekat Islam (SI). Inilah organisasi massa terbesar pada masanya. Puluhan ribu orang menjadi simpatisan. Pengaruh SI sampai pula di Surabaya.

Baca Juga

Kepemimpinan Haji Samanhudi mulai digantikan oleh HOS Tjokroaminoto. Pada saat itu, profilnya sudah sedemikian terkenal dan kharismatik di tengah publik. Orang-orang Belanda sampai-sampai menjulukinya De Ongekroonde van Java, ‘Raja Jawa tanpa Mahkota.’

Sifatnya egaliter, sehingga menganggap Belanda tidak ubahnya dengan rakyat Jawa. Daya kritisnya yang tajam membuka relung kesadaran para tokoh Pribumi untuk bangkit dengan pendidikan dan berorganisasi.

Dia mengecam keras praktik-praktik yang cenderung menghinakan kaumnya. Sorot matanya tajam—bak Gatot Kaca dari kisah perwayangan. Tidak pernah sekalipun membungkuk-bungkuk di hadapan pejabat pemerintah kolonial.

Baik melalui orasi dan gaya bahasa tubuhnya, Tjokroaminoto mencontohkan kepada sekalian orang Pribumi-Muslim tentang pentingnya menanggalkan inferioritas, rasa rendah diri, di hadapan penguasa yang zalim.

Selama memimpin SI, diarahkannya agar organisasi ini berhaluan nasionalisme yang merangkul seluruh suku bangsa di Tanah Air. Langkah ini tentu saja merupakan terobosan pada zamannya.

Sebab, cukup banyak organisasi yang lahir pada awal abad ke-20 menonjolkan identitas kesukuan, bahkan terhadap suku-suku lain. Dalam Kongres Nasional Pertama Central Sarekat Islam pada 1916, diserukannya para anggota SI untuk mengedepankan prinsip persatuan di atas keberagaman.

Gagasan nasionalisme yang dimaksudkannya tidak untuk dibentur-benturkan dengan keislaman. Dalam sebuah artikel pada harian Fadjar Asia pada 1924—seperti dikutip Aji Dedi Mulawarman (2015: 35)— Tjokroaminoto menegaskan bahwa nasionalisme yang diyakininya bukanlah semacam Nasionalisme Turki yang menghendaki kemerdekaan dari ruh Islam dan menggantikannya dengan ruh berwajah Barat.

 

Pemikiran tentang Nasionalisme

Tjokroaminoto tidak ingin nasionalisme dikuasai oleh materialisme yang membatasi simbol-simbol dan praktik-praktik Islam di ranah publik. Dengan memisahkan Islam dari negara (nation-state), menurutnya, maka hal itu justru telah menyalahi substansi nasionalisme. Nasionalisme bagi Tjokroaminoto tidak boleh menjadi penyebab kebencian suatu bangsa terhadap bangsa lainnya. Demikian pula, nasionalisme jangan menjadi rintangan menuju cita-cita tauhid.

Dalam praktiknya, Tjokroaminoto membesarkan SDI dengan berbagai langkah strategis. Seperti diuraikan Mulawarman dalam Jang Oetama: Jejak dan Perjuangan HOS Tjokroaminoto, dia menjalankan gerakan politik administrasi, yang meliputi penataan sistem rekrutmen, perluasan tujuan organisasi, dan ideologi.

Hasilnya, jumlah keanggotaan SDI meningkat, yang awalnya per Juni 1912 sebanyak dua ribu orang menjadi 35 ribu orang pada Agustus tahun yang sama. Keanggotannya tidak dibatasi pada para saudagar, tetapi juga petani, nelayan, bahkan pangreh praja. Sebulan kemudian, nama SDI diubah menjadi SI, untuk lebih mencerminkan inklusivitas itu.

Kebijakan lainnya adalah gerakan show of force—sesuatu yang belum pernah diterapkan H Samanhudi. Pertemuan akbar diselenggarakan di lapangan terbuka dengan mengundang seluruh anggota SI. Pada 25 Januari 1913 di Surabaya, pertemuan besar itu sudah dimulai dan puncaknya terjadi keesokan harinya. Hadir dalam acara itu 13 perwakilan cabang SI, yakni dengan jumlah anggota mencapai 80 ribu orang.

Sebagian besar dari Surakarta. Sisanya dari berbagai kota, seperti Sidoarjo, Jombang, Madiun, Jakarta, Semarang, Kudus, dan Bandung. Adapun kongres kedua diadakan di Yogyakarta pada April 1914. Hadir sebanyak 142 delegasi dari 81 cabang yang mewakili 440 ribu orang anggota. Pada saat itu, Tjokroaminoto mulai diangkat secara resmi menjadi ketua umum SI—jabatan yang terus diembannya hingga 1934.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement