REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penerus Daud ialah putranya, Sulaiman AS. Pada masanya, al-Aqsha didirikan menjadi bangunan besar dan indah. Inilah untuk pertama kalinya Bani Israil memiliki kerajaan sendiri yang berpusat di al-Quds.
Mahdy Saied menjelaskan dalam buku Fadhailu al-Masjidi al-Aqsha wa Madinati Baiti al-Maqdisi wa ar-Raddu ‘alaa Mazaa'imi al-Yahudi kondisi Bani Israil usai putra Daud AS itu meninggal dunia.
Begitu Nabi Sulaiman AS wafat, negeri itu pecah menjadi dua. Bagian utara yakni Kerajaan Samirah (Israel) berpusat di Nablus, sedangkan bagian selatannya—Kerajaan Yehuda—di Ursaaliim alias Yerusalem (al-Quds). Mulai saat itu, kemusyrikan kembali melanda mereka. Banyak pula dari Bani Israil yang membangkang kepada Allah dan bahkan membunuh nabi-nabi.
Kira-kira tahun 700 SM, bangsa Asyira menyerang Samirah. Nyaris semua Bani Israil setempat dibawa ke Irak sebagai budak. Hanya sedikit yang tersisa, yakni di Nablus. Di kota tersebut, bahkan hingga kini keturunannya bisa dijumpai. Mereka menolak eksistensi Israel, yakni “negara” zionis, dan menyebut dirinya sebagai bangsa Palestina.
Pada 587 SM, bangsa Babilonia yang dipimpin Nebukadnezar menyerang al-Quds. Masjid al-Aqsha yang dibangun Sulaiman AS dihancurkannya. Tak kurang dari 70 ribu Bani Israil dibawa ke Babilonia selaku budak.
Pada 546 SM, Koresh Agung (Cyrus the Great) menguasai al-Quds. Berbeda dengan rezim Babilonia, pemimpin bangsa Persia itu membebaskan Bani Israil untuk kembali dan membangun al-Aqsha. Karena itu, nama raja ini begitu harum dalam riwayat-riwayat sejarah Israil.
Antara abad ketiga dan pertama SM, al-Quds jatuh bangun dikuasai bangsa-bangsa dari Yunani. Ada masanya Bani Israil bisa hidup tenang di sana, tetapi ada kalanya dipersekusi. Sejak tahun 66 SM, Imperium Romawi menguasai Palestina, termasuk al-Quds. Demikianlah keadaannya hingga Nabi Isa AS lahir dan berlanjut pada masa Nabi Muhammad SAW hidup.
View this post on Instagram