REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Transisi dari abad ke-19 menuju 20 merupakan periode yang penting dalam sejarah umat Islam. Itulah masa ketika kaum Muslimin menghadapi dominasi Barat yang begitu merata pada tataran global, mulai dari sains, teknologi, penyebaran agama Kristen, hingga politik.
Ekspansi kolonialisme di Asia dan Afrika sejak abad ke-18 mendesak wilayah-wilayah Muslim kepada situasi yang buruk. Tidak ada jalan keluar bagi umat Islam selain berjuang merebut kembali martabat dan kedaulatan. Oleh karena itu, mulai timbul upaya-upaya mengukuhkan kesadaran kolektif umat Islam sedunia.
Kalangan intelektual Muslim berupaya merumuskan ulang bagaimana perjuangan yang ideal itu. Mereka menawarkan pembaruan (tajdid) dalam pemikiran Islam agar kehidupan umat selaras dengan perkembangan zaman modern.
Salah satu ciri modernisme adalah pengutamaan akal rasional, sesuatu yang kedudukannya sudah diakui dalam agama ini. Mereka berusaha agar umat bebas dari kepercayaan akan takhayul-takhayul dan kembali kepada inti yang murni daripada agama ini.
Itulah konteks waktu ketokohan Rasyid Ridha. Dia merupakan seorang sosok reformis Islam yang terkemuka dalam paruh awal abad ke-20. Perannya diakui bukan hanya dalam bidang pendidikan atau dakwah, melainkan juga jurnalistik dan politik.
Beberapa sumber menyebutkan, pria kelahiran tahun 1865 ini masih keturunan Ali bin Abi Thalib dari garis Imam Husein. Oleh karena itu, gelar ‘sayyid’ sering disematkan pada namanya.
Baca juga: Rasyid Ridha, Sang Penyala Api Modernisme Islam (2)