Jumat 15 Feb 2019 20:53 WIB

Riwayat tentang Syekh Abdul Karim, Ayahanda HAMKA (3)

Ayah dan anak sama-sama dapat gelar kehormatan dari al-Azhar

Sampul buku 'Ayahku' karangan Buya Hamka
Foto: tangkapan layar goodreads
Sampul buku 'Ayahku' karangan Buya Hamka

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 1920, Syekh Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul menjadi penasihat Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI). Antara lain atas inisiatifnya, maka berdirilah Sekolah Normal Islam di Padang pada 1931.

Lembaga itu menyediakan pendidikan dasar secara modern. Pada masa itu, pemerintah kolonial mulai bersikap keras terhadap sekolah-sekolah swadaya masyarakat Pribumi.

Baca Juga

Belanda lantas mengeluarkan aturan ordonansi. Dengan itu, rezim tersebut mengecap sekolah-sekolah bentukan masyarakat Muslim sebagai berstatus "liar". Syekh Abdul Karim Amrullah memimpin inisiatif yang mendesak pemerintah kolonial untuk mencabut aturan tersebut pada 1932.

Sampai tahun 1939, ayahanda Buya Hamka itu kerap mengadakan lawatan ke pelbagai daerah di Sumatra. Di macam-macam daerah itu, dia aktif mengajar, berceramah, dan membangun jaringan alim ulama.

Sebagai reformis Islam, Syekh Abdul Karim memiliki karakteristik tegas. Dia mengimbau para muridnya untuk menjaga daya kritis. Menurut Murni Djamal, dia tidak berkompromi terhadap otoritas lokal (adat) atau kaum tua dalam hal praktik beragama. Begitu pula, sikap kerasnya tampak terhadap pemerintah kolonial.

Sosok keturunan Tuanku Kisai--salik dari Tarekat Naqsabandiyah--itu mengecam berbagai bid'ah di tengah masyarakat. Kemudian, dia banyak mengkritik sikap taklid sebagian kaum Muslim di zamannya.

Bersama dengan Syekh Abdullah Ahmad di Padang dan Syekh Djamil Djambek di Bukittinggi, dia giat berdakwah untuk membersihkan umat dari kecenderungan taklid, bid'ah, dan keterpurukan.

Ketiga tokoh pembaru Islam itu saling mendukung. Dalam sebuah risalahnya, Muqaddimah, Syekh Abdullah Ahmad menulis dukungan terhadap kegiatan amar ma'ruf nahi munkar sahabat-sahabatnya, termasuk Syekh Abdul Karim Amrullah. Dia pun mengimbau kaum Muslim agar tidak fanatik buta terhadap keempat mazhab fiqih.

Kata Syekh Abdul Karim Amrullah: "Mereka (keempat imam pemuka mazhab fiqih) bahkan mengimbau para pengikutnya agar kembali kepada Alquran dan hadis bilamana fatwa-fatwa mereka diketahui bertolak belakang dengan ajaran Alquran dan hadis." Pernyataan itu jelas-jelas menandakan semangat reformisme Islam.

 

Kritis terhadap Kaum Adat

Demikian pula dengan kaum adat. Syekh Abdul Karim Amrullah menegaskan, ajaran-ajaran Islam hanya akan tersebar efektif di tengah masyarakat bilamana kaum penghulu (adat) dibimbing alim ulama. Bukan sebaliknya.

Dalam pemahaman Minangkabau yang sampai kini masih kuat, "Adat bersendikan syariat; syariat bersendikan Alquran." Dengan demikian, praktik-praktik adat tidak dibenarkan bertentangan dengan ajaran Islam.

Syekh Abdul Karim Amrullah menulis sedikitnya dua buku, al-Fara'id dan Sendi Aman Tiang Selamat. Keduanya mengkritik praktik pembagian harta warisan yang masih menurut adat, yakni berdasarkan garis-ibu. Dia menegaskan, adanya perbedaan antara harta warisan keluarga dan harta pusaka adat, yang bisa dibagi menuruti hukum adat, alih-alih hukum waris Islam.

Kegigihannya dalam berdakwah diakui kalangan luas. Syekh Abdul Karim Amrullah bahkan mendapatkan apresiasi dari pihak Universitas al-Azhar (Mesir).

Saat itu, dia bersama dengan Syekh Abdullah Ahmad menjadi orang Indonesia pertama yang memeroleh gelar doktor honoris causa (doktor kehormatan) dari salah satu kampus tertua di Dunia Islam itu.

photo
Buya Hamka saat masih muda.

 

Dalam sebuah bukunya, Taufiq Ismail (2011) menuliskan fakta unik lain, masih tentang Syekh Abdul Karim Amrullah. Kelak, sosok berjulukan Haji Rasul itu dan anaknya, Buya Hamka, sama-sama mendapatkan gelar doktor kehormatan dari al-Azhar.

“(Ayahanda Buya Hamka) dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa oleh Universitas Al-Azhar, Kairo, pada tahun 1926. Beliau lebih dikenal dengan julukan Haji Rasul, Inyik Doktor atau Inyik DR. Adapun Buya Hamka mendapat penghargaan yang serupa 35 tahun kemudian, pada tahun 1961, orang ketiga dari Indonesia. Sebagai ayah dan anak, mereka (Buya Hamka dan ayahnya) pasangan pertama yang mendapat kehormatan tinggi tersebut,” tulis Taufiq Ismail.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement