Kamis 14 Feb 2019 08:20 WIB

Mengenal Mujadid

Pembaruan yang dilakukan mengembalikan agama dan ajaran Islam yang benar

Dakwah
Foto: Dok. Republika
Dakwah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rasulullah SAW dalam hadisnya pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT mengutus bagi umat ini pada setiap pengujung 100 tahun ada seorang yang memperbarui agamanya.” (HR Abu Dawud).

Berdasarkan hadis ini, para ulama berpendapat bahwa setiap 100 tahun akan muncul seorang mujadid (tokoh pembaruan). Imam Ahmad bin Hanbal menyebut nama Umar bin Abdul Aziz yang menjadi khalifah Bani Umayyah sebagai tokoh pembaru abad pertama Hijriyah. Ia juga mencantumkan Imam Asy-Syafi‘i sebagai tokoh pembaru pada abad kedua H.

Imam Ahmad beralasan, Umar bin Abdul Aziz dikenal dengan gerakan kembali kepada penerapan syariat yang dicanangkan pada pemerintahannya (99-102 H). Sedangkan, Imam asy-Syafi‘i adalah nasir as-sunnah (penolong sunah) yang berhasil mempertemukan antara ahlul hadis dan ahlur ra’yi.

Tokoh pembaharu Islam yang lain juga menyantumkan nama Imam al-Gazali sebagai seorang mujadid. Ia dalam ijtihadnya dikenal menggunakan kajian spekulatif para filsuf rasional dan renungan mistis para sufi yang berdasarkan sunah, sehingga masing-masing kajian ilmu tersebut didudukkan pada posisi yang benar.

Tokoh-tokoh tersebut dianggap berjasa melakukan pembaruan (tajdid) pada abadnya masing-masing, dalam arti meluruskan kembali pemahaman terhadap agama agar tetap sesuai dengan Alquran dan tuntunan sunah Rasulullah SAW.

Pembaruan yang dilakukan ulama berarti mengembalikan agama dan ajaran Islam yang benar karena dianggap sudah menyimpang. Abu Sahl as-Sa‘laki (wafat 387 H), seorang ahli fikih dan tafsir klasik, mengatakan dalam syairnya, “Allah mengembalikan agama ini setelah hilang.” Maksudnya, Allah memunculkannya tokoh-tokoh yang akan mengembalikan Islam kepada kemurnian ajarannya dan membendung berbagai penyimpangan-penyimpangan. Abu Sahl menyebut nama Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Hasan Ali bin lsma‘il, dan beberapa ulama lainnya sebagai sosok mujadid.

Ajaran Islam bersifat absolut, artinya tidak akan berubah atau diubah siapa pun. Ajaran Islam akan tetap sebagaimana adanya sepanjang zaman dan berlaku untuk semua tempat. Contohnya, seperti pengharaman khamar, memakan daging babi, dan berzina. Demikian juga dengan perintah wajib shalat lima kali sehari semalam, puasa Ramadhan, menunaikan haji bagi yang mampu, mengeluarkan zakat, dan sebagainya.

Semua ajaran ini berlaku absolut untuk semua tempat dan segala zaman dan tidak dapat diubah atau diperbarui. Dengan demikian, hal-hal baru atau pembaruan dalam Islam hanya bisa terjadi terhadap penafsiran nas (Alquran dan hadis) dan terhadap ijtihad para ulama. Penafsiran dan ijtihad lama ditinggalkan dengan munculnya penafsiran dan ijtihad baru. Adapun, hasil ijthad lama yang tidak bertentangan dengan perkembangan zaman tidak perlu dan tidak mesti diubah.

Sebagaimana disebutkan dalam ensiklopedi hukum Islam, pembaruan hukum Islam dilakukan dengan ijtihad. Ijtihad inilah yang menjadi inti sari pembaruan dalam Islam. Dengan adanya ijtihad, dapat diadakan penafsiran dan interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran yang bersifat zanni. Dengan adanya ijtihad juga dapat ditimbulkan pendapat dan pemikiran baru sebagai ganti pendapat dan pemikiran ulama-ulama terdahulu yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.

Isu mengenai tertutupnya pintu ijtihad timbul sesudah habisnya mujtahid (ahli ijtihad) besar abad ketiga H. Pengikut masing-masing mujtahid besar memusatkan perhatian pada ajaran-ajaran atau mazhab gurunya dan memalingkan perhatian mereka dari Alquran dan hadis kepada karangan (pendapat) gurunya.

Ada pula, sebagian ulama yang pada hakikatnya belum memenuhi syarat untuk mengadakan ijtihad langsung kepada kedua sumber ajaran Islam tersebut. Akibatnya, timbullah kekacauan di bidang syariat dan ijtihad.

Di zaman modern ini, pembaruan hukum Islam dilatarbelakangi isu kejumudan, kemunduran, atau era taklid. Di samping itu, ada juga keinginan untuk menjadikan hukum Islam bisa eksis dalam masyarakat modern karena rumusan fikih klasik tidak lagi seutuhnya relevan.

Bagi kalangan pembaru hukum Islam, dewasa ini pendapat Umar bin Khattab sering disebut-sebut dan dijadikan rujukan karena dalam banyak kasus ia melakukan kebijaksanaan yang belum pernah dilakukan sebelumnya pada masa Rasulullah SAW dan Abu Bakar as-Siddiq. Misalnya, tentang pemisahan kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Pada masa Rasulullah SAW, kekuasaan berada di tangan satu orang. Rasulullah SAW pernah mengangkat Mu‘az menjadi gubemur di daerah Yaman sekaligus menjadi hakim pada masa pemerintahan Umar bin al-Khattab. Kepala pemerintahan tidak lagi merangkap sebagai hakim. Ia mengangkat dan melantik para hakim di samping gubernur.

Selain itu, Umar bin al-Khattab juga dikenal sebagai orang pertama yang mendirikan penjara dan diwan al-kharaj (dewan yang menangani urusan pajak). Banyak kasus lain yang belum pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW dan Abu Bakar dilakukan Umar.

Pembaruan hukum Islam dimaksudkan agar modern untuk mengembalikan aktualitas hukum Islam atau untuk menjembatani ajaran teoretis dalam kitab-kitab fikih hasil pemikiran mujtahid dengan kebutuhan masa kini.

Saat ini, bangsa tengah mengalami krisis kepemimpinan dan umat Islam merasakan krisis dalam tubuh Islam itu sendiri. Berbagai macam cabang pemikiran dan penafsiran dari cendekiawan Muslim justru menimbulkan kebingungan bagi masyarakat Muslim. Diperlukan seorang pionir yang akan membawakan solusi akan sekelumit permasalahan yang dihadapi umat Islam saat ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement