REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pesantren menjadi suatu ciri khas studi Islam di Indonesia. Lembaga itu memiliki karakteristik tradisional, sembari tetap berkembang dalam era modern dan pasca-modern.
Ensiklopedi Islam (1993) menyebut dua versi awal mula pesantren. Menurut pendapat pertama, pesantren berakar pada tradisi Islam. Pada masa silam, kaum sufi menyelenggarakan majelis-majelis tarekat, ilmu, zikir, wirid, dan lain-lain. Masjid yang menjadi pusat aktivitas ini berlokasi di lahan yang cukup luas serta jauh dari hingar-bingar.
Mereka dipimpin seorang kiai yang tinggal di rumah dalam satu kawasan dengan masjid itu. Selang beberapa waktu, kiai itu mewajibkan para pengikutnya untuk melaksanakan suluk, yakni tinggal bersama 40 hari lamanya di kompleks masjid.
Dengan cara itu, para muridnya kian intensif melakukan amalan di bawah bimbingan salik utama tadi. Mereka juga giat mempelajari kitab-kitab. Ruangan-ruangan yang tersedia untuk mereka berupa penginapan, dapur umum, dan sebagainya. Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan suluk itu melembaga menjadi pesantren.
Pendapat kedua memaparkan hal yang cukup berbeda. Baginya, pesantren Islam mengadopsi sistem yang pernah ada pada zaman Hindu di Nusantara. Itulah mengapa pesantren tidak ditemukan pada negara-negara Islam luar Nusantara, semisal Jazirah Arab.
Selain itu, lembaga serupa pesantren dapat dijumpai pada masyarakat Hindu-Buddha di Asia. Merujuk pula etimologi, pesantren atau santri berakar dari bahasa Tamil (India) yang berarti ‘guru.’ Penelusuran juga dapat ditemukan dalam kata shastri, juga dari bahasa India, yang lalu menurunkan shastra. Artinya, ‘buku-buku agama atau ilmu pengetahuan.’
Sebagai informasi, India telah menyebarkan pengaruhnya di Nusantara lebih dahulu sebelum kedatangan Islam. Pada masa pra-Islam, pesantren dimaksudkan sebagai tempat para pendeta mengajarkan nilai-nilai Hindu. Para murid yang belajar di sana menetap di asrama yang sistemnya menyerupai biara.
Ketika kerajaan-kerajaan Hindu/Buddha tergantikan kesultanan-kesultanan Muslim, keberadaan pesantren yang demikian tidak hilang begitu saja. Malahan, alim ulama Islam mengambil alih sistem tersebut, untuk kemudian diisi dengan metode pendidikan yang sejalan Alquran dan Sunnah.
Peta Kesultanan Islam Nusantara.
Islah Gusmian dalam Khazanah Tafsir Indonesia (2013) menjelaskan adanya perdebatan soal pesantren pertama di Nusantara. Mengutip uraian Fokkens, dapat dikatakan bahwa cikal bakal pesantren merupakan tanah perdikan di Glagah Arum. Area itu adalah pemberian dari seorang penguasa Majapahit kepada Raden Fatah.
Tanah perdikan dinilai sebagai awal kesinambungan pesantren (Islam) dengan lembaga yang bernama sama yang beroperasi pada zaman Hindu-Buddha. Pendapat ini cenderung sejalan dengan keterangan yang diungkap dalam Serat Cabolek, suatu legasi kesusastraan Jawa Klasik dari abad ke-16.
Adapun Martin van Bruinessen menilai, pesantren muncul pertama kali pada awal abad ke-18, yaitu Pesantren Tegalsari di Ponorogo, Jawa Timur, tepatnya pada 1742.
Sepanjang sejarah, umumnya pesantren punya lima ciri-ciri.
Pertama, adanya pondok atau asrama tempat tinggal para santri. Kedua, terdapat masjid sebagai pusat aktivitas keagamaan dan pendidikan. Ketiga, pengajaran kitab-kitab klasik. Adapun keempat dan kelima adalah para santri dan kiai. Dua hal yang terakhir itu merupakan corak khas yang membedakan pesantren dari lembaga-lembaga pendidikan lainnya, bahkan sampai hari ini.
Jumlah santri di suatu pesantren biasanya menjadi tolak ukur lembaga tersebut. Para santri membangun solidaritas serta rasa kekeluargaan yang erat satu sama lain. Selain itu, mereka juga memandang penuh hormat dan cinta sekaligus taat kepada kiai.