Jumat 19 Oct 2018 05:00 WIB

Menjauhi Akhlak Buruk

Manusia adalah makhluk yang di dalam dirinya hidup akal dan hawa nafsu.

Menjauhi Sikap Dengki (ilustrasi).
Foto: blog.science.gc.ca
Menjauhi Sikap Dengki (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,

Dalam kajian filsafat, manusia dapat maju dan berkembang dengan kemampuan akal. Namun, sebagaimana dipahami oleh kalangan saintis sendiri, akal memiliki keterbatasan dalam kinerjanya, sehingga manusia, bagaimanapun juga tidak bisa lepas dan melepaskan agama (Islam).

Akal mungkin bisa berbicara perihal bagaimana membangun kota, membangun gedung, membangun jembatan. Akan tetapi, akal tidak bisa benar-benar diandalkan ketika berbicara bagaimana membangun diri, terlebih membangun masyarakat. Sebab, manusia bukan benda mati. Manusia adalah makhluk yang di dalam dirinya hidup akal dan hawa nafsu.

Satu-satunya kekuatan yang dapat diandalkan dan terbukti mampu membangun manusia secara baik tidak lain adalah agama (Islam). Dalam Islam, agama bukanlah musuh akal. Tetapi agama adalah pasangan dari akal itu sendiri, sehingga ibarat dua tanduk, perpaduan agama (wahyu) dan akal akan melahirkan kekuatan besar sebagaimana sejarah peradaban Islam telah membuktikannya.

Pada saat yang sama, akal sangat efektif memahami maksud dan kehendak agama, terutama pada sisi-sisi penting di dalam membangun diri dan masyarakat. Perihal akhlak misalnya. Agama mampu mengarahkan hawa nafsu manusia berada pada proporsinya, sehingga tidak menimbulkan kerusakan. Rasulullah SAW bersabda: "Jauhilah sifat dengki karena dengki itu memakan (pahala) kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar." (HR Abu Dawud).

Hadis tersebut sangat mudah dipahami oleh akal manusia bahwa iri hati merupakan perbuatan negatif, yang karena itu Islam mengharamkan siapa pun memelihara sifat negatif tersebut. Tidak saja negatif, iri hati atau dengki dapat menghilangkan pahala kebaikan sebagaimana api menghanguskan kayu bakar. Dengan kata lain, orang yang mau berpikir, sudah pasti akan menjauhi iri hati atau dengki, sebab membiarkannya bercokol dalam hati, hanya akan merusak diri sendiri dan memastikan kerugian jangka panjang pasti terjadi.

Akhlak mulia, sebagaimana diteladankan oleh para ulama, merupakan headline hidup mereka yang paling utama. Abdurahman bin Qasim, seorang pelayan Imam Malik bin Anas, menuturkan kesaksiannya selama menjadi pelayan beliau. Kata Abdurrahman: "Tidak kurang 20 tahun aku menjadi pelayan Imam Malik. Selama 20 tahun tersebut, aku perhatikan beliau menghabiskan dua tahun untuk mempelajari ilmu dan 18 tahun untuk mempelajari akhlak."

Imam Malik dan para ulama yang baik lainnya, selalu menjaga kualitas akhlaknya. Akhlak kepada Allah, Rasul, dan sesamanya. Ketinggian derajat, pencapaian ilmu yang mendalam, dan kebesaran wibawa tidak membuat mereka merasa lebih mulia dan lebih baik daripada orang lain.

Pertanyaannya, mengapa para ulama demikian memperhatikan akhlak, tidak lain dan tidak bukan karena tingginya derajat akhlak di hadapan Allah Taala. "Sesungguhnya seorang hamba mencapai derajat yang tinggi di hari akhirat dan kedudukan yang mulia karena akhlaknya baik, walaupun ia lemah dalam ibadah." (HR Thabrani).

Dengan demikian, tidak ada perkara yang penting untuk kita perhatikan selain daripada menjauhi akhlak yang buruk dan bersungguh-sungguh memperbaiki diri dengan akhlak mulia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement