REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak semua benda dimiliki seseorang. Namun, dia bisa memperoleh manfaat dari sesuatu yang tidak dipunyainya.
Misalnya, ketika belum mampu membeli rumah sendiri seseorang bisa menyewa rumah untuk ditinggali. Atau, saat membutuhkan mobil untuk sebuah keperluan, karena belum punya sendiri maka menyewa mobil bisa jadi alternatif.
Bagaimana pandangan Islam mengenai kegiatan sewa-menyewa ini? Sayyid Sabiq dalam bukunya, Fiqih Sunnah, mengatakan, dalam syariat Islam, sewa atau ijarah merupakan jenis akad untuk mengambil manfaat dengan kompensasi. Bentuk manfaat sangat beragam. Terkadang berbentuk manfaat atas barang, misalnya rumah untuk ditempati.
Tak jarang pula manfaat tersebut berbentuk karya, seperti karya seorang arsitek, penjahit, dan tukang binatu. Juga dapat berupa kerja pribadi seperti pelayanan. Jika kesepakatan sewa telah ditetapkan, penyewa sudah berhak atas manfaat dan mereka yang menyewakan berhak pula mengambil kompensasi.
Islam membolehkan aktivitas sewa-menyewa. Keterangan dalam Alquran, sunah, dan ijma menjadi landasan kegiatan itu. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 233 disebutkan, jika seseorang ingin anaknya disusui oleh orang lain maka tak menjadi dosa, jika memberikan pembayaran yang patut kepada orang yang menyusui itu.
Hadis yang diriwayatkan Bukhari menyebutkan, Nabi Muhammad SAW pernah menyewa seseorang dari Bani ad-Diil bernama Abdullah bin Uraiqith sebagai penunjuk jalan. Dasar lainnya adalah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Berbekamlah kalian dan berikanlah upah bekamnya kepada tukang bekam tersebut,” ujar Rasulullah.