Ahad 30 Sep 2018 05:01 WIB

Dari Kolonial Hingga Kini: Kejar Daku Kau Ku Jilbab

Dari era kolonial perjuangan jilbab terkait dengan kebijakan politik penguasa.

Sekolah Guru Putri. Foto diperkirakan dari tahun 1950-an. Sumber Foto: Muh. Natsir dan Nasroen A.S, Hidup Bahagia. Penerbitan Vorkink-Van Hoeve: Bandung.
Foto:

Awal tahun 1980-an memang merupakan periode konflik antara Islam dan Pemerintah. Kedua pihak saling berlawanan atau konflik antara Islam dan pemerintah. Kedua pihak kerap bersitegang. Politik Pemerintah Orde Baru yang represif terhadap umat Islam turut memperkeruh persoalan ini.

Pada kasus jilbab ini, Depdikbud rupaya tidak bisa menutupi sikap curiganya terhadap siswi berjilbab. Sebagaimana pada kasus Tri Wulandari di Jember. Pihak Kodim 0824 Jember sempat memanggilnya karena dicurigai sebagai anggota Jamaah Imron. Jilbab pada saat itu dianggap sebagai perwujudan gerakan politik yang mengancam pihak pemerintah.

Maret 1984, pihak Depdikbud mengeluarkan penjelasan tentang pakaian seragam sekolah (bagi keperluan intern jajaran Depdikbud). Di dalamnya secara jelas menguraikan sudut pandang Depdikbud terhadap bermunculannya jilbab di sekolah-sekolah negeri serta protes-protes sekelompok masyarakat terhadap SK 052.

Sikap sekelompok masyarakat tersebut dimanfaatkan oleh golongan tertentu untuk menentang pemerintah, antara lain memperalat siswi di beberapa sekolah pada beberapa kota besar  untuk mengenakan sejenis pakaian  yang menyimpang/tidak sesuai dengan ketentuan pakaian seragam sekolah. Terutama sekali perlu ditegaskan, bahwa pakaian seragam sekolah tidak menentang ajaran Islam. Dan sebaliknya bahwa “aksi jilbab” yang dilancarkan oknum-oknum tertentu, bukan suatu gerakan agama, melainkan merupakan gerakan politik.

Cara pandang seperti ini tampaknya menurun pada sebagian guru, sehingga sikap mereka tidak ramah atau bahkan membenci siswi-siswi yang memakai jilbab. Seorang guru SMAN 31 Jakarta pernah menuding siswi berjilbab di sekolah itu bahwa cara berpakaian mereka “mewakili gerakan tertentu.” Namun ketika ditanya gerakan apa yang dimaksud, sang guru diam, tidak bisa menjawab.

Salah satu siswi berjilbab di SMAN 68 Jakarta, di dalam catatan hariannya, menuliskan perkataan salah seorang guru agamanya, “Kalau kalian berjilbab karena Allah, maka Bapak tidak dapat melarang kalian, tapi kalau kalian berjilbab karena ada unsur-unsur politik dan sebagainya, maka hal ini kami serahkan pada pihak sekolah.”

Berangkat dari kenyataan-kenyataan di atas, maka tidak mengherankan bila SK ini segera memakan korban. Pelajar-pelajar berjilbab sampai ada yang dikeluarkan dan dipindahkan dari sekolah, diskors, dicap seperti gerakan laten PKI, diinterogasi di ruang BP, dikejar-kejar kepala “robot” sekolah yang selalu berlindung di balik kalimat, “Saya hanya melaksanakan perintah atasan.”, kemudian dimaki-maki oleh orang tua sendiri, dan lain sebagainya.

Hal ini sebetulnya tidak perlu terjadi, bila pihak Depdikbud konsisten dengan apa yang dinyatakannya. Di dalam SK 052, tertulis adanya masa peralihan dua tahun untuk menerapkan aturan seragam sekolah nasional secara penuh. Jadi baru pada tahun ajaran 1984/1985 pakaian seragam ini baru digunakan secara penuh. Sementara dalam Wartasiswa yang dikeluarkan Depdikbud sendiri, dengan jelas menyatakan,

Keputusan yang mengatur ketentuan Pakaian seragam sekolah secara nasional ini adalah suatu “Pedoman”, bukan instruksi atau surat perintah, sehingga tidak memuat sanksi atau bersifat paksaan. Jadi sanksi hukum tidak ada, namun besar kemungkinan yang akan terjadi adalah sanksi sosial yang datang dari sekolah lain yang telah menerapkan atau dari tim penilai sekolah teladan yang memasukkan kategori yang belum dapat memenuhi kriteria.”

Pada kenyataannya, bukan seperti itu yang terjadi. Sanksi umumnya datang dari pihak Kepala sekolah dan guru-guru dalam bentuk sindiran-sindiran, tekanan, larangan belajar, hingga pengembalian pada orang tua. Walaupun tidak ada pernyataan yang jelas-jelas  melarang   jilbab atau jilbab, SK 052 segera menjadi landasan bagi pihak sekolah untuk ‘mengharamkan’ pemakaian jilbab oleh siswi-siswi di sekolah tersebut.

Tanggapan beberapa ormas Islam serta masyarakat mulai bermunculan. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) mengirimkan suratnya pada pengurus MUI pada tanggal 8 Desember1982. Dalam surat setebal empat halaman itu, DDII mengungkapkan keprihatinannya atas masalah-masalah jilbab yang sedang terjadi. DDII juga mengusulkan diadakannya “Musyawarah Ukhuwah Islamiyah” yang melibatkan pemimpin ormas-ormas di bidang pendidikan Islam untuk membicarakan masalah tersebut. DDII terus berkorespondensi dengan MUI.

Pada akhir Desember mereka mengirimkan informasi tambahan pada MUI tentang masalah yang sama. Dan sebulan berikutnya kembali mengirimkan informasi tambahan yang mereka kumpulkan.

Pengurus PII Wilayah Jakarta mengirimkan surat pernyataan, (pada tanggal 8 Januari 1983) kepada semua pihak yang berwenang dan terlibat, antara lain ditujukan kepada Ketua MPR-DPR, Menteri-menteri, dan MUI, untuk ikut menuntaskan masalah jilbab. Pada tanggal 17 Januari 1983, Pimpinan Pusat Badan Pembela Masjidil Aqsho (BPMA) menyampaikan, “Teriakan hati kepada semua pihak yang menangani pendidikan.”

Mereka menyatakan bahwa memakai jilbab merupakan kewajiban bagi kaum mukminah, pemakainya dijamin oleh konstitusi, dan pelarangannya  akan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Pengurus Pusat Wanita Muslim juga memberi perhatian terhadap masalah ini dengan mengirim surat pada tanggal 21 Januari 1983 yang ditujukankepada Menteri P dan K. Dalam surat ini, Mendikbud diminta untuk “mengambil kebijaksanaan dengan memberi kelonggaran kepada mereka yang ingin berbusana sesuai dengan keyakinan ajaran agamanya dan untuk tetap dapat mengikuti pelajaran.”

Media massa Serial Media Dakwah dan Harian Pelita turut membantu perjuangan jilbab. Mereka banyak meliput pihak yang merasa dirugikan oleh permasalahan jilbab ini. Pemberitaan Tempo pada tanggal 11 Desember 1982, yang berjudul “Larangan Buat Si Kudung” walaupun hanya sekali memberi dukungan tersendiri bagi pelajar-pelajar berjilbab.

Pada tanggal 15 Januari 1983, siswi-siswi yang berjilbab dari SMA, SMEA, dan SGA Tangerang, Bekasi, dan Jakarta juga mengajukan protes ke DPRD DKI Jakarta menuntut agar dibolehkan mengikuti pelajaran dengan tetap mengenakan pakaian muslimah.

Pada masa-masa berikutnya, terjadi komunikasi yang semakin intensif antara umat Islam yang diwakili MUI dengan pemerintah (Depdikbud). Meskipun dialog tak kunjung hasil dan pelarangan jilbab terus terjadi, tapi tidak membuat MUI menyerah memperjuangkan jilbab. Tekanan dari masyarakat, media massa, dan MUI justru semakin kuat. Depdikbud dibawah menteri dan Dirjen Dikdasmennya, Fuad Hasan dan Hasan Walinono, mau tidak mau mempertimbangkan kembali peraturan seragam yang ada.

Sementara di tingkat nasional, berdirinya ICMI, telah merubah haluan Pemerintah menjadi lebih akomodatif terhadap Islam. Fuad Hasan, pada awalnya terlihat enggan untuk mengubah peraturan seragam, boleh jadi karena sikap pemerintah Orde Baru yang selama ini cenderung anti Islam. Namun, bandul telah bergeser, dan Depdikbud pun mau tidak mau harus mengikuti bandul itu.

Akhir 1989 atau awal 1990, MUI mengadakan Munas dan menghasilkan keputusan perlunya meninjau kembali peraturan tentang seragam sekolah. Menindaklanjuti hasil Munas tersebut, MUI beberapa kali menemui Depdikbud, terutama dengan Hasan Walinono, Dirjen Dikdasmen. Pada pertemuan di sebuah restoran di kawasan Monas,  bulan Desember 1990, kedua belah pihak sepakat untuk menyempurnakan peraturan seragam sekolah. Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu itu tiba. Pada tanggal 16 Februari 1991, SK seragam sekolah yang baru resmi ditandatangani, setelah melalui proses konsultasi dengan banyak pihak, termasuk Kejaksaan Agung, MENPAN, Pimpinan Komisi XI, DPR RI, dan BAKIN.

Dalam SK yang baru itu, SK No. 100/C/Kep/D/1991, tidak disebutkan kata jilbab, tetapi yang digunakan adalah istilah “seragam khas.” Dalam peraturan tersebut, dinyatakan ”Siswi (SMP dan SMA) yang karena keyakinan pribadinya menghendaki penggunaan pakaian seragam sekolah yang khas dapat mengenakan pakaian seragam khas yang warna dan rancangan sesuai lampiran III dan IV.” Pada lampirannya bisa dilihat bentuk seragam khas yang dimaksud, yang tidak lain adalah busana muslimah dengan jilbab atau jilbabnya.

Perjuangan pemakaian jilbab selama bertahun-tahun, yang diwarnai sikap represif aparat, pendidik dan pejabat akhirnya membuahkan hasil. Keringat, derita, stigma dan air mata demi menjaga kemuliaan wanita itu mampu mejadi pembuka jalan bagi diterimanya jilbab di Indonesia.

Perjuangan syariat jilbab memang bukan perkara mudah. Semenjak masuknya Islam ke nusantara, terjadi proses bertahap dalam menjadikan jilbab sebagai bagian dari masyarakat di nusantara. Proses bertahap ini berbeda-beda di setiap wilayahnya. Di daerah dikenal Islam berpengaruh amat kuat seperti Aceh dan Minangkabau, Islam telah meresap jauh ke adat masyarakat hingga ke soal berpakaian sehingga membuat masyarakatnya lebih mudah untuk berpakaian lebih tertutup.

Kebijakan-kebijakan kolonial yang kerap mencoba memisahkan Islam dari masyarakat memperberat perjuangan ini. Jilbab dalam kehidupan sehari-hari pun sempat menjadi sesuatu yang asing dari hati umat Islam. Namun Jilbab tak pernah benar-benar lepas dari hati wanita di nusantara. Ibadah sholat lima waktu yang mewajibkan menutup aurat wanita, membuat jilbab tetap hadir meski tidak setiap saat.  Terus bertambahnya arus umat dan ulama yang pergi ke tanah suci, menggelorakan dakwah di tanah air.

Perjuangan ulama yang memanfaatkan media massa turut menghidupkan dakwah jilbab di Indonesia. Peran-peran ormas Islam semacam NU, Muhammadiyah, Al irsyad, dan Persis yang dengan gigih menanamkan kesadaran berjilbab di masyarakat, perlahan tapi pasti, mampu mengubah rupa wanita Indonesia dalam teduhnya kemuliaan jilbab. Tekad baja para muslimah muda dalam memperjuangkan jilbab di masa orde baru akhirnya mendobrak halangan berjilbab. (Jejak perjuangan jilbab du tahun 1980-1n ini terjejak pada Bimbo dan Tuafiq Ismail 'Aisyah Adinda Kita', red)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement