Ahad 30 Sep 2018 05:01 WIB

Dari Kolonial Hingga Kini: Kejar Daku Kau Ku Jilbab

Dari era kolonial perjuangan jilbab terkait dengan kebijakan politik penguasa.

Sekolah Guru Putri. Foto diperkirakan dari tahun 1950-an. Sumber Foto: Muh. Natsir dan Nasroen A.S, Hidup Bahagia. Penerbitan Vorkink-Van Hoeve: Bandung.
Foto:

Jika pada masa sebelum kemerdekaan perjuangan jilbab diwarnai polemik di media massa, namun di orde baru perjuangan jilbab semakin berat. Perjuangan umat Islam khususnya muslimah mendapat tentangan keras dari pemerintah, khususnya pejabat dinas pendidikan dan pihak militer.

Militer, dalam hal ini angkatan darat, muncul sebagai kekuatan yang sangat dominan dalam panggung politik orde baru.  Militer Indonesia mendominasi posisi-posisi strategis baik eksekutif, legislatif, maupun birokrasi. Pada tahun 1972, 22 dari 26 gubernur adalah bekas perwira militer, demikian juga 67 % dari bupati dan camat serta 40% dari kepala desa.

photo
Siswi di sebuah sekolah Islam di Solo tahun 1970-1971. Koleksi Karel A. Steenbreek. Sumber: KITLV Digital Media Library

 

Selama dua dekade pemerintahan orde baru, terhitung 71,4 % posisi-posisi strategis dalam birokrasi pusat yang tertinggi diduduki militer. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sendiri untuk tahun 1982 terdiri dari 44 % militer. Sejarawan Alwi Alatas  menilai salah satu tujan utama dominasi militer ini adalah untuk mengawal tercapainya tujuan orde baru. Pemerintah orde baru mencita-citakan suksesnya program pembangunan yang mereka canangkan dan untuk itu dibutuhkan kestabilan politik dan ekonomi yang ditopang kuat oleh kestabilan pertahanan dan keamanan.[24]

Hal senada juga diungkapkan oleh sejarawan Tiar Anwar Bachtiar. Menurutnya,  dalam membangun stabilitas politik dan keamanan serta pemulihan ekonomi negara, Soehato dikelilingi tentara dan teknokrat. Tentara digunakan sebagai kekuatan untuk pemulihan keamanan nasional, sedangkan teknokrat dimanfaatkan untuk mewujudkan target ekonomi pemerintah orde baru.

photo
11

 

Anak perempuan mengaji (kemungkinan) di Masjid Prabumulih, Padang, 1955. Sumber: KITLV Digital Media Library (http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/detail/form/advanced?q_searchfield=52673)

Dominasi  militer ini sangat dirasakan oleh para ulama. Ruang gerak mereka untuk menyiarkan nilai-nilai agama sering kali harus berbenturan dengan pihak militer yang kerap dirasakan sebagai anti Islam. Sifat birokrasi militer yang kaku telah membuat kalangan Islam menemui kesulitan untuk memperjuangkan aspirasinya agar diterima oleh pemerintah, termasuk dalam masalah jilbab di kalangan pelajar putri.

Salah satu hal yang menggelitik  untuk dikaji lebih jauh adalah masuknya watak militerisme dalam kebijakan-kebijakan Depdikbud. Kebijakan wajibnya seragam sekolah dalam SK Dirjen Dikdasmen No.052 tahun 1982 tampaknya mengindikasikan hal itu.

Di dalam SK itu,  sebenarnya tidak dilarang penggunaan jilbab oleh pelajar-pelajar muslimah di SMA-SMA Negeri, hanya saja, bila mereka ingin memakai jilbab di sekolah, maka harus secara keseluruhan pelajar putri  di sekolah memakai jilbab.

Dengan kata lain hanya ada satu paket seragam saja di sekolah. Dan pilihan untuk pelajar-pelajar muslimah: pakai jilbab seluruhnya atau tidak sama sekali? Tentu tidak aneh bila hal ini menimbulkan tanda tanya, terutama di kalangan yang mendukung  jilbab. Apakah ini sebuah bentuk penerapan budaya militer di sekolah-sekolah menengah negeri atau hanya sekadar keinginan mengenakan jilbab menjadi mustahil bagi kebanyakan pelajar muslimah?

Upaya yang dilakukan pemerintah lewat pihak sekolah dalam menyelesaikan masalah larangan jilbab juga memperlihatkan pendekatan militer di dalamnya. Contohnya, ketika Ratu, salah seorang pelajar putri yang berusaha memakai jilbab maka hal ini menjadi bermasalah dengan pihak sekolah. Muttaqien, salah seorang anggota keluarga Ratu menganggap bahwa pemerintah pada saat itu menghadapi munculnya jilbab di SMA-SMA Negeri dengan security approach (pendekatan keamanan). Ketika datang ke SMAN 68 untuk membicarakan masalah adiknya, ia menemui Kepala Sekolah, Subandio. Namun pada saat itu Subandio didampingi oleh seorang Kolonel Ass. Intel Kodam Jaya. Ketika itu ia diancam akan ditangkap kalau “macam-macam.”

SMAN 68 sendiri pada saat ia datang, dijaga oleh mobil militer. Tetapi Muttaqien mengakui juga bahwa keadaan itu terjadi karena anak buahnya di PII-di luar pengetahuannya- telah menteror Subandio, bahkan dengan ancaman “Bapak besok akan mati!”

Selain itu, rumah para siswi berjilbab, atau orang-orang yang dianggap memengaruhi siswi-siswi berjilbab, didatangi oleh intelijen. Ketua RT mereka ditanyai dan diberi peringatan untuk berhati-hati terhadap mereka. Pihak keluarga didatangi dan diberi ancaman.

Terlihat juga ketidakpahaman guru maupun pejabat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud/ P dan K) terhadap masalah hukum Islam dalam hal pakaian muslimah.  Sebagai contoh, tidak lama setelah kemunculan SK 052, terjadi kasus pelarangan jilbab di SMAN 3 Bandung pada tahun 1982.  Wargono, guru olah raga di sekolah itu mengutip ayat-ayat Al-Qur’an dan menyatakan masalah pakaian dikembalikan kepada ciri-ciri (tradisi setiap bangsa). Menurutnya, penutup aurat yang dituntut oleh ayat-ayat tersebut perlu disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat Indonesia dan bukan menurut kebiasaan di tempat Islam berasal. Guru olah raga ini mewajibkan murid-muridnya mengenakan hot pants (celana pendek diatas lutut) pada saat pelajaran olah raga. Siswi-siswi berjilbab yang bertahan ingin mengenakan training pack diancam mendapat nilai 2 di rapor untuk mata pelajaran olah raga.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement