REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekhawatiran menerpa Abu Bakar. Di dalam Gua Tsur, ia bersama jun jungannya, Muhammad SAW, bersembunyi dari kejaran orang-orang Quraiys. Dari dalam gua, ia melihat beberapa pengejar dengan pedang terhunus. Seandainya mereka melihat ke dalam lubang gua, tentu Abu Bakar dan Muhammad terlihat dan ditangkap.
Abu Bakar tak bisa menahan kerisauan dan mengungkapkannya kepada sahabatnya, Muhammad. Namun, bukan perasaan gentar yang dilontarkan utusan Allah SWT atas perasaan Abu Ba kar. Sebaliknya, ia menegaskan, “Abu Bakar, jangan takut dan khawatir sesungguhnya Allah bersama kita,” ujarnya man tap.
Menurut Sopian Muhammad, melalui bukunya Manajemen Cinta Sang Nabi, dalam peristiwa Gua Tsur, Rasulullah mengajarkan optimisme dalam berbagai situasi. Sesulit apa pun kondisi yang dihadapi, seorang Muslim seharusnya optimistis. Tanpa sikap ini, cobaan kehidupan akan mengempaskan Muslim ke dalam keputusasaan.
Dalam Islam, optimisme menyertai kebenaran sebab merupakan bagian dari perilaku orang ber iman. Allah mengingatkan Muslim agar tak bersikap lemah dan bersedih hati karena Muslim merupakan orang-orang yang paling tinggi derajatnya, tentu jika mereka memang benar-benar orang beriman.
Bagi orang beriman, bersikap optimistis merupakan wujud keyakinan kepada Tuhannya. Apalagi, Allah mengatakan Dia adalah sebaik penolong dan pelindung. Lebih jauh, Amr Khaled, mubalig dan motivator ternama asal Mesir mengatakan, Allah mengingatkan umat-Nya tak ada yang berputus asa dari rahmat-Nya, kecuali orang kafir.
Optimisme mestinya tertanam dalam lubuk hati paling dalam setiap Muslim. Jangan sampai terhapus meski kiamat datang pada saat itu juga. “Bila hari kiamat tiba dan di tangan salah seorang dari kalian terdapat tunas pohon kurma, tanamlah,” kata Rasulullah yang terangkum dalam hadis riwayat Ahmad.
Amr Khaled menjelaskan menge nai pernyataan Rasul dalam hadis itu pada bukunya, Buku Pintar Akhlak. Ia mengatakan, tanamkanlah tunas-tunas kebaikan walaupun harapan adanya buah tidak akan terlihat. Yang diminta Allah adalah usaha se orang Muslim, sisanya serahkan kepada-Nya.
Dengan demikian, sikap putus asa yang membuat seseorang akhir nya tak memperhatikan persoalan Islam dan kehidupannya sangat berbahaya. Mestinya, urai Khaled, tak sampai terucap, “Aku sudah lelah dan tak peduli lagi.” Yang diharap dari Muslim adalah pernyataan sebaliknya.
“Aku lelah namun akan tetap berusaha. Aku sedih tetapi harus tetap bekerja. Aku menangis namun harus tetap berbuat.” Khaled mengisahkan bagaimana Rasul terus memompakan semangat dan optimisme pada para sahabatnya, contohnya menjelang terjadinya Perang Khandaq.
Tatkala menggali parit dan Muslim sudah kelelahan, terlihat batu yang keras. Di tengah keletihan dan didera kekhawatiran atas kepungan pasukan musuh, mereka melaporkan hal itu kepada Rasul. Setelah mendengar laporan, pemimpin umat itu menuju lokasi dan memukul batu tersebut hingga terlihat percikan api.
Dalam kondisi kritis semacam itu, Muhammad berseru, “Allahu Akbar, Romawi pasti dikuasai …’’ Para sahabat memandang satu sama lain. “Romawi pasti dikuasai?” Muhammad kembali memukul batu keras itu dan berkata, “Allahu Akbar, Persia pasti dikuasai.” Pada pukulan ketiga, batu itu pecah. Nabi menyalakan optimisme umat.
Menurut Khaled, optimisme berarti berpikir positif, yaitu percaya kepada Allah dan diri sendiri. Jika sikap ini berkembang dalam setiap diri, Muslim akan selalu berbaik sangka kepada Tuhannya, lalu bergerak berusaha mencapai apa yang dicita-citakan hingga akhirnya terwujud.