REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan sampai saat ini belum pernah diajak bicara oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise, terkait dengan rencana Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk mencegah perkawinan anak.
Wakil Ketua MUI, Zainut Tahuid Saadi berpendapat masalah perkawinan tidak hanya sekedar didasarkan pada pertimbangan sosial, ekonomi dan kesehatan semata tetapi juga harus mempertimbangkan aspek agama karena pernikahan itu bagian dari perintah agama.
"Sehingga sah dan tidaknya sebuah perkawinan harus juga didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama," ujarnya dalam keterangan tulis yang diterima Republika, Ahad (22/4).
Menurut pandangan MUI, UU Nomor 1 Tahun 1971 tentang Perkawinan merupakan UU yang sangat monumental dan memiliki ikatan emosional dan kesejarahan yang sangat kuat bagi umat Islam Indonesia. Karena UU tersebut diundangkan pada masa Orde Baru yang sangat represif namun isinya sejalan dengan aspirasi umat Islam Indonesia dan tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Selain itu, kata dia, UU ini juga senafas dengan jiwa Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. "Karena UU tersebut hakekatnya merupakan implementasi dari pelaksanaan sila pertama Pancasila dan Pasal 29 UUD NRI Tahun 1945," ujarnya.
Untuk hal tersebut MUI meminta kepada Pemerintah sebelum menerbitkan Perppu atas UU No 1 Tahun 1971 Tentang Perkawinan hendaknya berkonsultasi dengan MUI dan ormas keagamaan lainnya, agar isi Perppu yang akan diundangkan sejalan dengan aspirasi umat beragama dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama.