REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Meskipun secara de jure telah kehilangan kekuasaan, Inggris masih mencari celah untuk menguasai Kalimantan. Pada 1844, ekspedisi berbendera Inggris mencapai wilayah pesisir Kalimantan Timur.
Pelayaran ini terdiri atas dua unit kapal, yakni kapal utama Young Queen dan ka pal perusak Anna, masing-masing dipimpin Kapten Hart dan Kapten Lewis.
Seluruh ekspedisi ini dikomandoi James Erskine Murray dengan tujuan mendominasi Kerajaan Kutai Kertanegara. Dia dipandu seorang penerjemah berkebangsaan Benggala.
James Murray merupakan putra bangsawan Skotlandia, Alexander Murray yang bergelar Lord Elibank VII. Di Inggris, dia lebih dikenal sebagai seorang advokat. Kedatangannya ke Kalimantan disertai obsesi untuk mengikuti jejak James Brooke. Pada 1842, Brooke berhasil mendekati Sultan Brunei sehingga menjadikannya penguasa Sarawak.
Sesampainya di Samarinda, James Murray menyuruh orang-orang untuk memanggilnya dengan gelar Tuan Besar. Saat itu, dia mengabaikan kekuasaan Sultan Kutai. Dia pun mencapai Tenggarong dengan menyusuri Sungai Mahakam.
Tujuannya untuk menemui langsung Sultan Kutai agar bersedia memberikan kepadanya wilayah di Tenggarong.
Nantinya, daerah tersebut akan dipakai sebagai basis perniagaan Inggris dan dirinya pribadi. Berkat taktik diplomasi yang ulung, James Murray diizinkan Sultan Salihuddin untuk mendirikan perwakilan dagang di Samarinda dengan alasan kota ini memang sebuah pusat perniagaan yang terbuka.
Namun, permintaan petualang Inggris ini semakin menjadi-jadi. Setelah izin tersebut diperolehnya, James Murray masih berambisi untuk masuk ke pedalaman Kutai. Dia pun mengirimkan surat kepada penguasa setempat. Isinya mendesak Sultan Kutai agar mengirimkan kepadanya pangeran dan adipati Kutai sebagai pendampingnya selama perjalanan ke sana. Bila lewat dari setengah jam usai surat tersebut dikirim belum ada jawaban, Murray mengancam akan menyerang kerajaan Muslim itu.
Benar saja. James Murray nekat menembak istana Kutai Kertanegara dengan meriam. Pertempuran pun pecah. Pasukan Murray pun kocar-kacir dan kalah. Murray sendiri terjun ke laut lepas untuk me la rikan diri sebelum pada akhirnya ikut tewas. Berita tewasnya seorang keturunan bangsawan Inggris sampai ke Singapura.
Pihak Inggris ingin membalas kekalahan ini, tetapi terbentur dominasi Belanda di Nusantara. Kepada Inggris, gubernur jenderal Hindia Belanda berjanji untuk menyelesaikan persoalan ini.
Tidak lama kemudian, Belanda mengirimkan armada tempurnya ke Tenggarong. Serangan ini menyebabkan istana Kutai Kertanegara porak-poranda. Sultan Salihuddin bahkan harus mengungsi ke luar Tenggarong bersama dengan para pengikutnya. Selanjutnya, perlawanan dipimpin panglima Kerajaan Kutai Kertanegara, Awang Long.
Namun, panglima bergelar Pangeran Senopati ini pun ikut gugur dalam pertempuran tersebut. Kesultanan Kutai tidak berdaulat lagi untuk mem per tahankan wilayahnya. Pada 11 Oktober 1844, Sultan Salihuddin secara resmi menyerah kepada Belanda.
Sejak saat itu, Kutai Kertanegara berada di bawah administrasi Hindia Belanda. Tenggarong tunduk pada pusat kekuasaan keresidenan di Banjarmasin. Bagaimanapun, eksistensi kesultanan tetap bertahan. Pada 1850, Sultan Sulaiman naik takh ta menggantikan Salihuddin. Tiga tahun kemudian, pemerintah kolonial menugaskan J Zwager sebagai asisten residen di Samarinda dengan tugas mendampingi Sultan Sulaiman dan mengawal kepenting an-kepentingan Belanda.