REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lepas dari perdebatan siapakah penguasa Kutai pertama yang bersyahadat, dakwah Islam berkembang pesat sejak era Raja Mahkota.
Bukti-bukti arkeologis menunjukkan, salah satu peradaban tertua se-Nu santara muncul di Kalimantan Timur. Sejauh ini, para peneliti telah menemukan tujuh yupa, yakni sejenis tiang batu yang fungsinya untuk menautkan hewan kurban.
Pada ketujuh benda tersebut, terdapat teks berbahasa Sanskerta dengan aksara Pallawa dari permulaan abad kelima. Isinya meng gambarkan puji-pujian dari para brahmana atas sikap dermawan Raja Mula warman yang telah menyumbangkan 20 ribu ekor lembu untuk suatu perayaan besar.
Mulawarman merupakan cucu dari pendiri Kerajaan Kutai Martadipura, Kudungga. Sejak 350, kakeknya itu berkuasa, tetapi belum banyak dipengaruhi kebudayaan Hindu (India). Pengaruh India mulai masuk di zaman pemerintahan ayah Mulawarman, Aswawarman. Ketika Mulawarman menjadi penguasa, Kutai Martadipura mengalami masa kejayaan sebagai kerajaan Hindu tertua di Nusantara.
Kutai Martadipura berpusat di Muara Ka man, daerah yang kini kecamatan sebelah barat laut Samarinda. Tidak jauh dari sana, muara Sungai Mahakam juga menjadi pusat Kutai Kartanegara. Kerajaan ini didirikan pada 1300 oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti. Dia kemudian menikah dengan Putri Meneluh sehingga menurunkan silsilah raja-raja Kutai Kartanegara.
Etnolog Belanda Pieter Johannes Veth berpendapat, dua kerajaan Kutai tersebut merupakan bagian dari kekuasaan Majapahit yang berekspansi pada abad ke-14. Kitab Nagarakretagama menyebut kerajaan ini sebagai Tanjung Kute yang telah direbut Mahapatih Gajah Mada.
Pada abad ke-15, pengaruh Majapahit mulai memudar di seluruh Nusantara. Setelah itu, Kutai Kartanegara berada di bawah pengaruh Kerajaan Banjarmasin yang dipimpin Pangeran Samudra, raja pertama Banjarmasin yang memeluk Islam. Namun, pemerintahan tetap dipegang para raja Kutai Kartanegara yang mengirimkan upeti kepada Banjarmasin. Kesultanan Banjar sudah diulas Islam Digest edisi sebelumnya.
Pada abad ke-16, Kutai Kartanegara yang dipimpin Anum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Maharaja Dharma Setia, penguasa Kutai Martadipura. Raja ke- 13 Kutai Kartanegara itu kemudian me nyatukan dua kerajaan tersebut sehingga menjadi Kutai Kartanegara ing Martadipura.
Pengaruh Islam di Kutai diduga bermula sejak ekspansi Kerajaan Banjarmasin. Namun, geliat dakwah agama ini dapat dila cak sejak penyebaran dakwah Islam oleh para mubaligh dari Sumatra ke Sulawesi. Dua orang di antaranya, Datuk Dibandang dan Datuk Ditiro, berhasil menyiarkan Is lam di sejumlah kerajaan di Sulawesi Selatan.
Mereka kemudian beranjak dari Ma kassar ke Kutai pada akhir abad ke-16 de ngan mi si menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Ra ja Kutai, Mahkota (1545-1610), me nerima dua dai tersebut dengan baik dan pada 1605 me meluk agama Islam. Demikian keterang an dari Ramli Nawawi dkk dalam Salasilah Kutai.
Seperti halnya kerajaan-kerajaan di muara sungai, Kutai juga memiliki pelabuhan yang ramai dengan para pedagang yang berasal dari pelbagai suku bangsa. Orang-orang Cina, India, dan Bugis kerap menjadikan Kutai sebagai pangkalan tempat memperdagangkan pelbagai komoditas setidaknya sejak abad ke-10.
Berdasarkan fakta ini, beberapa sejarawan menduga Islam telah masuk ke lingkungan Kutai jauh sebelum masa Raja Mahkota. Bahkan, raja ketiga Kutai Kartanegara yang bernama Maharaja Sultan jelas menandakan pengaruh Islam. Penguasa ini memerintah pada periode 1370-1420.
Lepas dari perdebatan siapakah penguasa Kutai pertama yang bersyahadat, dak wah Islam berkembang pesat sejak era Raja Mahkota. Begitu menjadi Muslim, dia me merintahkan pembangunan masjid sebagai pusat penyebaran Islam di Kutai. Dia men didik putranya, Aji Batara Agung Paduka Nirta, untuk menjadi pengikut Islam yang taat. Sejak 1620, Kerajaan Kutai Kartanegara berada di bawah kendali Kesultanan Makassar. Saat itu, Makassar merupakan saingan Kerajaan Banjar yang bersekutu dengan Kompeni Belanda (VOC).