REPUBLIKA.CO.ID, Ketika menangis dalam kekhusyukannya bermujahadah, Abu Musa meyempatkan diri membaca kalam Ilahi. Suaranya yang merdu menyentuh hati orang-orang sekitar yang mendengarnya. Syair Ilahi yang dilantunkan Abu Musa merusak ketenangan duniawi, sehingga orang-orang kembali mengingat kepasrahan mereka kepada Allah.
Nabi SAW menilai, keindahan suara Abu Musa sungguh luar biasa. Abu Musa seakan mendapatkan salah satu seruling Nabi Daud yang mengeluarkan nada-nada penenang jiwa. Sayyidina Umar sering memanggil Abu Musa dan memintanya untuk membacakan Alquran.
Kata Umar, "Bangkitkanlah kerinduan kami kepada Sang Ilahi, wahai Abu Musa." Sebagai tanda kecintaannya kepada Islam, Abu Musa menuliskan mushaf Alquran. Semasa hidupnya, Abu Musa hanya berperang berpartisipasi dalam pertempuran melawan tentara musyrik. Mereka adalah penentang Islam yang tetap mempertahankan agama jahiliyah.
Ketika umat Islam terjebak dalam konflik internal, Abu Musa melarikan diri. Dia paling memprihatinkan keadaan saudara seimannya saling menumpahkan darah. Begitulah pendiriannya dalam konflik yang muncul antara Ali dan Muawiyah. Menurut dia, jika Muslim membunuh satu sama lain, masa depan umat Islam akan terancam. Dia selalu mengajak semua pihak yang berselisih untuk memulai lembaran baru.
Dia menganjurkan Khalifah Ali melepaskan jabatannya. Sedangkan Muawiyah juga tak boleh mengklaim sebagai khalifah. Muslim harus diberi kebebasan memilih siapa pun yang mereka inginkan untuk menjadi khalifah. Ali diakui memegang posisi khalifah secara sah.
Berbagai pemberontakan yang muncul menginginkan kehancuran tradisi peralihan kekuasaan yang sudah diwariskan sebelumnya. Namun, tradisi pergantian khalifah seperti yang terjadi sebelumnya tak dapat dipertahankan. Umat Islam kerap terperosok dalam jurang konflik perebutan kekuasaan bersimbah darah. Bahkan konflik tersebut terus terasa hingga saat ini. Di berbagai belahan dunia, umat Islam kerap saling berperang mempertahankan ego sektoralnya.