Selasa 30 Jan 2018 04:14 WIB
Setahun Setelah Insiden Masjid Quebec

Muslim Kanada Masih Hadapi Tantangan

Kejahatan berlatar kebencian terhadap Muslim meningkat dua kali lipat pada 2017.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Agus Yulianto
Azzedine Najd (kanan) dan istrinya Fadwa Achmaoui di dekat lokasi penembakan di Masjid di Pusat Kebudayaan Islam Quebec, Quebec City, Kanada.
Foto: Mathieu Belanger/Reuters
Azzedine Najd (kanan) dan istrinya Fadwa Achmaoui di dekat lokasi penembakan di Masjid di Pusat Kebudayaan Islam Quebec, Quebec City, Kanada.

REPUBLIKA.CO.ID, Brian Semple tidak pernah meninggalkan rumahnya di Kota Quebec untuk melaksanakan shalat di masjid tanpa ponselnya lagi. Sebelumnya, pemandu wisata dan perawat rumah sakit itu, mengatakan ada sebuah risiko bahwa dia akan lupa untuk mematikan dering pada perangkatnya. Handphone bisa saja berdering di tengah shalat.

Kini, setahun setelah insiden penembakan di Masjid Kota Quebec, Semple mengatakan bahwa ada risiko yang dirasakan jauh lebih besar. Insiden penembakan brutal yang terjadi pada 29 Januari 2017 lalu itu telah menewakan enam orang dan melukai 19 orang lainnya yang tengah melaksanakan shalat Subuh di Grande mosque de Qubec. Pelakunya, Alexandre Bissonnette (27 tahun), menghadapi enam tuduhan pembunuhan tingkat pertama dan enam tuduhan percobaan pembunuhan.

"Sebuah ponsel memiliki 911. Hal lain yang tidak pernah saya pikirkan tentang siapa yang datang di pintu. Sekarang saya lakukan," kata Semple, dilansir dari The Star, Senin (29/1).

Semple, seorang mualaf Muslim, mengatakan, bahwa istrinya yang lahir di Maroko mengalami penghinaan sebelum penembakan tersebut terjadi karena dia memakai jilbab. Ia mengatakan, tepat setelah serangan terjadi, ada banyak sekali simpati dan empati.

"Kami akan naik bus dan orang akan tersenyum dan bersikap ramah. Itu gagal dan hal itu kembali terjadi. Butuh waktu beberapa bulan," lanjutnya.

Untuk mengenang tragedi mematikan tersebut, sejumlah kota di Kanada menggelar acara peringatan yang berlangsung selama empat hari sejak Jumat (26/1) lalu. Maryam Bessiri, anggota panitia penyelenggara acara, mengatakan bahwa acara tersebut merupakan upaya untuk mengkonsolidasikan kemajuan yang telah dicapai pada tahun lalu.

Namun satu tahun berlalu, justru terdapat tada tanda-tanda yang meresahkan. Para anggota komunitas mengatakan, bahwa reaksi awal warga Quebec dan Kanada, tampilan simpati dan toleransi yang sangat umum terhadap komunitas Muslim, tidak berlangsung lama.

"Apakah kita kuat atau lemah? Saya pikir kita lebih sadar akan adanya masalah tertentu. Kesadaran bahwa ada beberapa masalah yang, bahkan dengan nilai terbaik yang kita miliki harus ditangani dan diberi perhatian, antara lain masalah rasisme dan Islamofobia," kata Bessiri.

Stephane Leman-Langlois, seorang profesor kriminologi di Universit Laval di Kota Quebec, mengatakan ada dua jenis reaksi yang luas terhadap penembakan di masjid tersebut. Pertama, termasuk yang terkejut dengan kekerasan mematikan yang mengekspresikan solidaritas mereka dengan umat Islam di Quebec. Mereka adalah orang-orang seperti Annie Demers-Caron, seorang guru junior lokal yang mengorganisir Lettre toi, sebuah kampanye penulisan surat. Yang mana, orang-orang dari seluruh provinsi menulis pesan solidaritas yang diikat ke dalam sebuah buku dan dipresentasikan kepada keluarga mereka yang terbunuh.

Tipe kedua, termasuk mereka yang merasa berani dalam mengekspresikan pandangan anti-Muslim dan anti-imigrasi saat mencela tindakan kekerasan. "Mereka maju ke depan berkata, 'Kami bukan ekstremis karena kami tidak melakukan ini. Seperti yang mereka katakan, 'Inilah contoh ekstremis. Kami menolak tindakan ini, jadi kami sah," kata Leman-Langlois.

Leman-Langlois memasukkan tipe kedua itu dalam kelompok pembawa acara provokatif di radio Kota Quebec ini, yang menyalahkan insiden penembakan karena menyalakan api intoleransi. Ia juga memasukkan kelompok sayap nasionalis atau sayap kanan seperti La Meute. Kelompok itu didirikan pada 2015 dengan misi yang dinyatakan untuk memerangi Islam radikal.

Sejumlah anggota La Meute dilaporkan menjadi bagian dari komite yang mengobarkan pertempuran politik setelah serangan tersebut. Mereka ingin menghalangi pembuatan pemakaman Muslim khusus di kota St-Apollinaire, dekat Kota Quebec.

Ketika proyek pemakaman dihalangi dalam sebuah referendum kotamadya, Wali Kota Quebec Regis Labeaume kemudian menjual tanah milik kota ke Center culturel islamique de Qubec. Hal ini, menurutnya, akan memungkinkan masyarakat untuk mengubur mayatnya yang dekat dengan rumah daripada mencari-cari tempat di sebuah lingkungan Muslim di dekat Montreal, atau mengirim jenazahnya kembali untuk dimakamkan di Timur Tengah atau Afrika, seperti yang dilakukan untuk mereka yang tewas dalam serangan masjid.

Dua hari setelah penjualan tanah, sebuah mobil yang tengah terparkir milik presiden Islamic Centre Kota Quebec, Mohamed Labidi, terbakar. Hal itu mengarah pada tuduhan kriminal terhadap dua orang yang tidak memiliki hubungan dengan kelompok apapun yang terorganisir.

Sylvain Brouillette, juru bicara La Meute, mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa kelompoknya mendukung keputusan untuk memperingati "enam orang Quebec yang tidak berdosa" yang terbunuh dalam penembakan di masjid tersebut. Namun, ia mendesak anggota yang menghadiri acara peringatan tersebut untuk tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai pendukung La Meute, karena menghormati keluarga yang berduka. Dia juga mengecam pemerintah dan gerakan politik minoritas agama yang, menurutnya, telah menggunakan serangan masjid tersebut untuk mencetak poin-poin politik.

Ia mengatakan, salah satu inisiatif tersebut adalah dorongan oleh Dewan Nasional Muslim Kanada untuk menjadikan 29 Januari sebagai hari melawan Islamofobia. Meskipun tidak ada keputusan nasional, beberapa kota di Kanada telah menerima saran tersebut. Usulan tersebut memang telah ditolak oleh Perdana Menteri Quebec, Philippe Couillard.

"Kami pikir ini adalah penghinaan terhadap bangsa(Quebec). Kami tidak percaya bahwa orang-orang Quebec adalah orang-orang Islamofobia. Kami tidak percaya bahwa orang Quebec adalah rasis," kata Brouillette La Meute.

Kepolisian Kota Quebec pekan lalu mengatakan, bahwa jumlah kejahatan berlatar kebencian terhadap Muslim meningkat dua kali lipat pada 2017 menjadi 42 dari 21 pada 2016. Ini adalah kenaikan yang meresahkan di kota Quebec, yang memiliki kebanggaan dengan tingkat kejahatan yang rendah.

Tapi itu bukan kejutan bagi Demers-Caron, yang juga mengorganisir acara peringatan pada Senin. Dia mengatakan, bahwa atmosfir yang tidak toleran di Kota Quebec berdampak pada semangat masyarakat Muslim yang berjuang untuk pulih dari tragedi tersebut. Ia mengatakan, solidaritas saja tidak cukup karena kelompok sayap-kanan terlalu kuat.

"Itulah yang saya rasakan dan saya lihat. Saya akan mengharapkan mereka untuk pergi diam. Kami baru saja memiliki enam orang yang tewas. Ada 17 anak yang telah kehilangan seorang ayah. Kami akan mengharapkan bahwa akan sedikit lebih tidak nyaman bagi mereka untuk mengekspresikan rasisme mereka. Tapi justru sebaliknya," kata Demers-Caron.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement