REPUBLIKA.CO.ID, QUEBEC -- Hampir setahun setelah penembakan mematikan di dalam sebuah masjid di Kota Quebec, Presiden Islamic Centre kota Quebec, Mohamed Labidi, menimbang adanya pencurahan dukungan dari warga Kanada terhadap tanda-tanda Islamofobia yang terus meningkat dalam komunitasnya. Insiden penembakan pada 29 Januari 2017 lalu telah menewaskan enam orang dan membuat 19 lainnya luka-luka.
Hari ini Senin (29/1) menandai satu tahun sejak serangan tersebut. Pelakunya, Alexandre Bissonnette (27 tahun), menghadapi enam tuduhan pembunuhan tingkat pertama dan enam tuduhan percobaan pembunuhan. Pengadilannya dijadwalkan dimulai 26 Maret mendatang.
Seorang wanita meletakkan bunga tidak jauh dari TKP penembakan di Masjid di Pusat Kebudayaan Islam Quebec, Quebec City, Kanada.
"Perasaan saya terbagi antara harapan dan ketakutan," kata Labidi kepada CTV News, dilansir pada Senin (29/1).
Labidi berharap, tindakan mengejutkan tersebut akan mengalahkan perpecahan budaya yang telah berlangsung lama dan merobohkan kejahatan berlatar kebencian. Namun, harapan itu tampaknya hanya menjadi putus asa. Kepolisian Kota Quebec mengatakan, bahwa kejahatan berlatar kebencian meningkat dua kali lipat pada 2017.
kelompok sayap-kanan seperti La Meute muncul dan berani bangkit dari insiden penembakan itu. Sejumlah orang mengklaim bahwa serangan tersebut terlalu ditanggapi dengan serius. Sementara itu, sebuah rencana untuk mendirikan area pemakaman milik Muslim pertama di kota Saint-Apollinaire pun ditolak oleh penduduk.
"Sangat mengherankan bila anda bisa menemukan satu orang yang tidak dapat mengatakan tidak dan menentang sebuah pemakaman untuk seseorang," lanjut Labidi.
Sebidang tanah lantas ditemukan tiga pekan kemudian. Namun, baru sesaat setelah Walikota Quebec, Regis Labeaume, menengahi kesepakatan untuk mendapatkan tanah kota dan meresmikan pemakaman tersebut. Beberapa hari setelahnya, Labidi menjadi sasaran. Mobilnya sendiri dibakar karena ia beragama Islam. "Kita masih menerima pesan kebencian, pesan penolakan," ujarnya.
Pada Oktober 2017 lalu, Majelis Nasional Quebec juga memperkenalkan sebuah RUU yang kontroversial yang melarang warga menerima atau memberikan pelayanan publik dengan wajah tertutup. Perundang-undangan itu banyak dikritik karena menyasar wanita Muslim yang memakai jilbab dan niqab.
Demonstrasi publik terhadap keputusan hakim bahwa Quebec tidak dapat memaksa orang untuk membuka wajah mereka dilakukan. Bagi banyak orang, secercah harapan muncul bahwa orang-orang Quebec bersedia untuk membela kebebasan beragama Muslim. Labidi mengatakan, bahwa dia memiliki cukup banyak tanda dukungan selama setahun terakhir untuk tetap optimis tentang masa depan.
"Bersama-sama, kita akan muncul lebih kuat dari ini. Lebih bersatu daripada sebelumnya," tambahnya.