Senin 04 Dec 2017 13:30 WIB

Hikmah di Balik Masa Idah

Rep: A Syalaby Ichsan/ Red: Agung Sasongko
Pasangan suami istri.
Foto: Pixabay
Pasangan suami istri.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi seorang Muslimah yang ditalak atau ditinggal mati suami, syara' menjatuhkan masa idah baginya. Masa idah tersebut diatur dalam Q S al-Baqarah ayat 228. "Perempuan-pe rem puan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu sebelum kawin lagi) selama tiga kali quru' (yakni tiga kali masa haid atau masa suci)."

Dalam Panduan Lengkap Muamalah, Mu hammad Bagir menjelaskan, kata idah berasal dari kata 'adad dalam bahasa Arab. Artinya, bilangan atau hitungan. Dalam istilah fikih berearti masa menunggu yang harus dijalani seorang mantan istri yang ditalak atau ditinggal mati oleh suaminya sebelum dia dibolehkan menikah kembali.

Para ulama menjelaskan, alasan adanya masa idah adalah ta'abbudi, yaitu sesuatu yang tidak diketahui pasti hikmahnya, tetapi dilaksanakan sebagai ibadah kepada Allah SWT. Aturan ini dilaksanakan sebagai ibadah untuk mematuhi perintah-Nya. Meski demi kian, ada juga ulama yang berupaya mengetahui hikmah di balik perintah Allah mengenai masa idah.

Pertama, masa idah disebut akan mem beri cukup kesempatan bagi pasangan sua mi-istri untuk merenung dengan tenang dan penuh kebijaksanaan mengenai perceraian yang ditempuhnya. Setelah meredanya ama rah dan kebencian antara suami-istri, me reka bisa melakukan rujuk (tanpa nikah dan mahar baru) sekiranya hal tersebut lebih baik bagi mereka dan anak-anaknya.

Berikutnya, masa idah dinilai sebuah bentuk penghargaan terhadap sesuatu yang agung dan sakral. Ikatan tersebut tidak ber langsung kecuali dengan berkumpulnya para saksi dan tidak terputus sepenuhnya setelah masa penantian yang panjang. Jika tidak, nis caya pernikahan bagaikan permainan anak kecil yang berlangsung sesaat.

Terakhir, hikmah adanya masa idah ada lah untuk mengetahui dengan pasti jika pe rem puan itu tidak sedang hamil dari lelaki yang diceraikannya. Dengan demikian, nasab anaknya kelak menjadi jelas dan tidak ber campur aduk dengan suaminya yang baru seandainya dia segera menikah lagi sebelum diketahui kehamilannya.

Dalam masa idah itu, perempuan masih mempunyai hak-haknya sebagai istri. Pe rem puan yang masih dalam masa idah akibat talak raj'iy alias talak yang masih memung kinkan untuk rujuk berhak menerima tempat tinggal dan nafkah sehari-hari. Status pe rem puan ini masih merupakan istri yang sah. Karena itu, dia tetap memiliki hak-hak seba gai istri. Terkecuali, apabila dia dianggap nusyuz (melakukan hal durhaka).

Bagi perempuan yang mengalami masa idah akibat talak ba'in (talak yang tidak memungkinkan rujuk), dia bahkan berhak atas tempat tinggal apabila dalam keadaan mengandung. Ini sebagaimana tertera dalam QS at-Thalaq ayat 6. "Apabila mereka (para istri yang ditalak) dalam keadaan sedang mengandung, nafkahilah mereka sampai mereka telah melahirkan kandungannya."

Sementara itu, perempuan yang meng alami idah akibat talak ba'in yang tidak dalam keadaan mengandung baik akibat talak tebus (khulu') atau talak ketiga, berdasarkan pendapat Imam Syafi'i dan Imam Malik hanya ber hak memperoleh tempat tinggal. Sedang kan, Imam Abu Hanifah berpendapat dia ber hak memperoleh nafkah dan tempat tinggal seperti seorang istri yang mengalami talak raji'y.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement