REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jalaluddin as-Suyuthi (911 H/1505 M), dalam al-Asybah wa an-Nazhair Fi Qawaid wa Furu'i Fiqh asy-Syafi'iyyah menjelaskan ada lima kaidah dasar dan merupakan prinsip hukum Islam yang sering dirujuk oleh para ulama. Pertama, suatu perbuatan ditentukan oleh niat (al-umuru bi maqashidiha). Niat dijadikan barometer untuk menentukan status hukum sebuah tindakan.
Dalam perkara kriminal membunuh, niat merupakan penentu sekaligus titik yang membedakan jenis pembunuhan. Apakah pembunuhan yang dilakukan termasuk kategori membunuh karena disengaja dan ada niatan (qatl al-amad) ataukah dilakukan secara tidak sengaja dan tanpa ada niatan (qatl bi ghair al-amad), rujukan menentukan hukumnya bisa dilihat dari niat sang pelaku.
Kedua, yakin tidak bisa dikalahkan dengan keraguan (al-yaqin la yazalu bi asy-syak). Sikap ragu sering kali dihadapi ketika beribadah. Maka, kaidah yang dipakai, keragu-raguan tidak boleh mendominasi sikap yakin. Seseorang harus mantap dengan hal terakhir yang diyakininya.
Misalnya, apabila seseorang ragu apakah dia wudhunya sudah batal atau belum, padahal sebenarnya dia masih belum batal. Dia harus berpegang pada keyakinannya dan menghilangkan sikap waswas tersebut.
Ketiga, kesusahan mendatangkan kemudahan (al-masyaqqatu tajlib at taisir). Apabila seseorang mendapati kesusahan menjalankan ibadah karena alasan syar'i, dia berhak atas dispensasi atau rukhshah.
Keempat, malapetaka harus dihindari (adh-dharar yuzal). Salah satu prinsip dan tujuan syariah adalah menjaga keberlangsungan hidup atau hifdz an-nafs. Aplikasi kaidah ini, di antaranya dalam kondisi tertentu yang memaksa dan tidak ada pilihan lain seseorang diberi kelonggaran untuk melanggar ketentuan syar'i agar tetap bisa bertahan hidup. Misalnya, seseorang diperbolehkan memakan daging ular tatkala berada di hutan dan tidak mendapati makanan lain.
Kelima, kebiasaan adalah hukum (al-'adat muhakkamah). Aturan dan tradisi yang sesuai dengan syariat bisa menjadi sebuah hukum atas kasus tertentu. Misalnya, konsumsi makanan masyarakat lokal dijadikan pengganti kurma atau gandum yang kerap dipakai sebagai patokan berfidyah atau bersedekah, terutama di negara-negara yang tidak ditemukan kedua bahan pokok tersebut.