REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setidaknya sejak abad kedua hingga abad kedelapan Hijriyah, kian banyak ulama yang mengabdikan diri untuk keberlangsungan keilmuan Islam. Di Makkah, Madinah, Damaskus, Yaman, dan pusat-pusat perkembangan Islam lainnya, sosok-sosok seperti as-Sya'bi (wafat sekitar 721-722 M), az-Zuhri (wafat 742 M), Makhul (wafat 734 M), dan Ta'us (wafat 720 M) merupakan para perintis bahan yang digunakan generasi berikutnya untuk mengembangkan sistem hukum Islam.
Muhammad Khalid Masud dan kawan-kawan dalam Islamic Legal Interpretation (1996), menjelaskan, pada masa berikutnya, perkembangan fatwa kian terlembagakan. Lembaga fatwa mulai tumbuh sebagai lembaga yang mandiri dari kekuasaan negara. Para ulama mengendalikannya berdasarkan standar keilmuan.
Untuk bisa mengeluarkan sebuah fatwa, yang diperlukan adalah ilmu keagamaan dan takwa. Para mufti menyediakan nasihat yang sifatnya otoritatif bagi kaum Muslim kurang mengetahui ihwal hukum-hukum agama Islam. Demikian pula, kaum Muslim dapat merujuk kepada para mufti untuk hal-hal yang dirasakan masih perlu penilaian Islami.
Pada masa Dinasti Umayyah, para mufti bertindak sebagai konsultan hukum untuk para qadi sembari mengeluarkan fatwa bila dimintai pendapatnya oleh para gubernur mengenai beberapa persoalan.
Misalnya, gubernur Ailah, Ruzayq bin Hukaym pernah menulis surat kepada al-Zuhri di Wadi al-Qura. Ia bertanya apakah dia harus menyelenggarakan shalat Jumat bagi para budak yang bekerja di tempat pertanian yang ia miliki.
Az-Zuhri menjawab bahwa gubernur Ruzayq semestinya menyelenggarakan shalat Jumat bagi mereka. Dalam surat jawabannya ini, az-Zuhri mengutip beberapa hadis Nabi SAW.
Dalam sistem hukum Islam, seorang qadi mesti meminta konsultasi dengan para ahli hukum Islam untuk membuat putusan. Khususnya, di berbagai kasus sulit, misalnya terkait kemungkinan hukuman mati. Meskipun ditunjuk oleh khalifah atau amir (penguasa), permintaan konsultasi terhadap seorang penasihat hukum sering kali dilakukan secara individual oleh qadi. Musyawarah demikian dilakukan untuk menjamin bahwa standar hukum Islam telah diterapkan di pengadilan. Selain ranah peradilan, fatwa juga bisa dikeluarkan untuk memenuhi permintaan otoritas politik.
Pada periode Kesultanan Mamluk (1250-1516 M) di Mesir dan Suriah, lembaga fatwa cenderung mandiri dari kekuasaan negara. Para mufti mengeluarkan fatwa secara tertulis sebagai tanggapan terhadap beberapa individu yang memintanya, atau terhadap qadi.
Tidak jarang, mufti hadir di sebuah pengadilan untuk dimintai pendapatnya di muka pengadilan oleh qadi. Para sultan Mamluk tidak menunjuk para mufti yang hadir ke pengadilan. Kendati begitu, para sultan menugasi beberapa mufti untuk di pengadilan mazhalim, pengadilan khusus yang digelar para sultan atau gubernur.
Kesultanan Mamluk juga menggaji para mufti yang dimintai pendapat soal kebijakan-kebijakan politik negara. Metode ini memunculkan lembaga syaikhul-Islam pada masa Kesultanan Ottoman kemudian.
Pada masa Kesultanan Ottoman (1516-1918 M), para mufti tampil sebagai individu yang mandiri dari kekuasaan negara. Ketika wilayah kekuasaan Ottoman terus berkembang, mazhab Hanafi diadopsi sebagai mazhab resmi.
Para mufti perlahan-lahan terkumpul dalam administrasi peradilan yang terpusat. Hal itu dimulai dari masa kepemimpinan Sultan Murad II (1421-1451 M). Seorang mufti tunggal sekaligus syaikhul-Islam, diposisikan sebagai otoritas satu-satunya mengenai syariat.
Pada masa Sultan Salim I (1512-1520 M), syaikhul-Islam memiliki pengaruh moral di ibu kota, Istanbul. Hal itu berpuncak pada masa kekuasaan Sulaiman (1520-1566 M). Seorang syaikhul-Islam bertanggung jawab atas hierarki peradilan yang cukup rumit, yang tersebar di seluruh negeri.
Dengan melonjaknya permintaan fatwa, para mufti masuk ke sistem birokrasi. Sultan mulai memerintahkan pendirian kantor-kantor yang menyebarluaskan fatwa. Di dalamnya, para profesional mengepalai sekaligus mengawasi peredaran fatwa hingga sampai ke masyarakat atau lembaga yang membutuhkannya di seantero negeri.
Berkat efisiennya sistem ini, dilaporkan bahwa pada abad ke-16, syaikhul-Islam mengeluarkan rata-rata 350 tanggapan atas berbagai permintaan fatwa, yakni dua kali sepekan. Bahkan, Abu as-Su'ud, yang diamanahi tugas sebagai syaikhul-Islam pada 1545-1574 diketahui pernah menulis sampai 1.400 fatwa dalam satu hari.
Fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan secara sistematis disimpan dalam dokumentasi negara. Beberapa di antaranya dikumpulkan dalam bentuk buku.