REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pahlawan merupakan seorang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam memperjuangkan keadilan. Dalam konteks peradaban Islam, pahlawan tidak hanya lahir dari medan perang. Dia juga sosok yang berkontribusi lewat sumbangan ilmu pengetahuan. Betapa banyak nama ilmuwan Islam yang menjadi peletak dasar sains modern saat ini. Sumbangsih mereka juga menjadi penyala obor bagi perkembangan peradaban barat.
Muhammad bin Musa al Khawarizmi merupakan ilmuwan cemerlang yang melahirkan ilmu aljabar. Dia adalah cendekiawan Muslim yang hidup pada 780-850 M di Persia dan Irak. Dalam kitab monumentalnya, Al Kitab Al Mukhtasar Fi Hisab Al Jabr Wa I Muqabala, al Khawarizmi menuliskan prinsip-prinsip dasar rumus aljabar. Dia pun diakui sebagai peletak dasar angka nol dengan sistem desimal sebagai pengembangan angka nol yang ada dalam prinsip perhitungan bangsa India. Kita bisa bayangkan jika skema desimal tidak pernah ditemukan Al Khawarizmi. Padahal, bahasa program dalam dunia komputer memerlukan prinsip-prinsip desimal.
Ia pun menjelaskan cara menggunakan rumus aljabar dengan variabel yang tidak diketahui untuk memecahkan berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari, seperti menghitung zakat, pembagian warisan, dan sebagainya. Sisi unik dari pemikiran Al Khawarizmi untuk mengembangkan aljabar adalah keinginannya untuk melahirkan cara menghitung sesuai tuntunan syariat Islam, sehingga mempermudah untuk menyelesaikan permasalahan sehari-hari tanpa harus menggunakan kalkulator ataupun komputer.
Di Eropa, kitab karya Al Khawarizimi telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada sekitar 1000 M dan 1100 M, dengan nama Algoritmi. Jika Al Khawarizmi tak menciptakan aljabar, tentu tak mungkin ada penerapan rumus-rumus praktis di era modern dalam pembelajaran matematika. Sepeninggal Al Khawarizmi, karya-karyanya terus digunakan sebagai referensi pelajaran matematika di berbagai universitas di Eropa selama ratusan tahun.
Jangan pula lupa menyebut peran Al Khindi dalam dunia astronomi. Pemilik nama asli Abu Yusuf Ya'qub bin Ishak Al Kindi ini adalah filsuf besar Islam yang menulis sejumlah buku astronomi, di antaranya, Risalah Fi Masa'il Su'ila 'Anha Min Ahwal al-Makasib (jawaban persolan tentang planet-planet), Risalah Fi Jawab Masa'il Tabi'iyyah Fi Kaifiyyat Nujumiyyah (jawaban tentang persoalan fisika dan perihal bintang-bintang), dan Fi Asy-Syu'a'at (perihal sinar).
Abu Hassan at-Tamimi menerjemahkan karya besar astronomi Persia pra-Islam Zij-i Syahi atau Zij-i Syariyari (tabel Raja) yang kemudian diberi komentar oleh Abu Masy'ar (dikenal di Eropa sebagai Albumasar).
Menurut Muhammad Gharib Jaudah dalam 147 Ilmuwan Terkemuka dalam Sejarah Islam, Islam merupakan motivator terbesar untuk pengembangan ilmu astronomi. Dari satu sisi, Islam memiliki kepentingan untuk mengetahui waktu-waktu pelaksanaan shalat dan penentuan arah kiblat. Di sisi lain, nas-nas Alquran secara terang-terangan mengajak untuk melihat ke ufuk untuk mengetahui tanda-tanda kebesaran Allah dan keindahan ciptaan-Nya.
Dari sini, mereka mampu menciptakan karya-karya astronomi yang besar. Adapun sebagian dari karya astronomi tersebut adalah meneliti tentang peristiwa gerhana matahari dan bulan serta mencari penyebabnya, sebagaimana mereka mencari penyebab-penyebab yang berhubungan dengan berbagai fenomena alam dan perbintangan lainnya. Seperti tenggelam dan terbitnya matahari, lingkaran sinar matahari (korona), dan waktu-waktu terbitnya bulan serta fatamorgana.
Selain itu, para ilmuwan ini juga yang pertama kali membuat dasar-dasar ilmu fisika matahari (solar physic) yang pada saat ini sangat dikenal. Para astronom Arab berhasil mengembangkan metode Ptolemaeus yang berbeda dengan gambaran Claudius Ptolemaeus tentang benda-benda luar angkasa. Teori inilah yang kemudian dikembangkan oleh astronom Belanda, Copernicus dan dianggap sebagai revolusi dalam ilmu astronomi.
Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk beriman dan mengerjakan amal shalih. Amal ini akan menjadi bekal untuk setiap Muslim dalam menghadapi kematian. Amal shalih didefinisikan sebagai perbuatan yang baik sesuai dengan ajaran Alquran dan sunah. Dalam konteks inilah seharusnya setiap Muslim bisa menjadi pahlawan. "Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan." (QS Saba':37).
Akhirul kalam, pahlawan bisa lahir dari rahim bidang manapun. Jika pada masa perang para sahabat mengangkat pedang untuk membela panji-panji Islam maka di masa damai para ulama yang hidup di saat masa Abbasiyah mencari pembuktian kebenaran yang ada dalam kitab suci. Mereka pun menyumbang kontribusi tak kecil untuk peradaban. Pada masa sekarang, banyak juga pahlawan kemanusiaan yang lahir dari lembaga zakat atau komunitas sosial. Tanpa digaji, para relawan ini bergerak untuk menolong para dhuafa yang memerlukan. Wallahualam.