REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Umat Islam mengemban misi profetik atau kenabian untuk membawa umat manusia pada kesempurnaan akhlak yang mulia. Misi ini memiliki konteks kekiniannya di kala peradaban manusia terbawa pada kutub ekstremitas.
"Islam datang untuk memuliakan akhlak manusia," kata Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir saat memberikan ceramahnya di forum pengajian bulanan Keluarga Alumni Masjid Salman yang digelar di aula kampus Universitas Al-Azhar, Jakarta, Selasa (31/10) malam.
Menurut Haedar, Nabi Muhammad SAW sudah menggariskan bahwa dirinya diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Dalam konteks kekinian, akhlak sempurna ini tak hanya bersifat kesalehan pribadi, tapi juga kesalehan dalam relasi sosial.
Nabi sendiri merupakan sosok dengan akhlak yang agung. Bagaimana Islam hadir di Jazirah Arab yang saat itu menyepelekan peran perempuan, tapi justru Nabi memuliakan peran perempuan sebagaimana peran kaum lelaki. "Baru sekarang Kerajaan Arab Saudi membolehkan perempuan menjadi anggota parlemen dan menyetir. Itu satu contoh saja," kata Haedar.
Kehadiran Nabi membawa peradaban dan keadaban yang baru bagi manusia. Nilai-nilai Ilahi pada diri manusia, kata Haedar, telah direduksi dengan paganisme oleh bangsa Arab jahiliyah saat itu, sehingga memperbudak diri sendiri. Islam datang tak hanya membawa benar salah, tapi juga peradaban dalam makna yang lebih luas, peradaban yang berdiri di atas nilai-nilai agama. "Peradaban yang melampaui batas geografis dengan nilai-nilainya yang universal," kata Haedar.
Mewujudkan peradaban ini merupakan tugas kolektif semua Muslim. Menurutnya, kehidupan sufi --istilah lain bagi profetik-- tak bisa dilepaskan dari konteks kesalehan pribadi dan kesalehan sosial. Haedar menyatir kalimat bijak sufisme berikut "Jika orang yang saleh tak lagi peduli dunia, jangan salahkan kalau dunia dikuasai oleh orang-orang zalim".
"Jadi kalau mau masuk surga, ya bareng-bareng. Masa mau sendirian saja di surga, nggak kan. Ada peran kemanusiaan dan kebangsaan oleh mereka yang mengklaim sufi sekalipun," kata Haedar.
Haedar melanjutkan, manusia memiliki peran sebagai hamba Allah (abdullah) dan sekaligus pula sebagai wakil Allah di dunia (khalifatullah fil ardh). Sebagai abdullah, penghambaan kepada-Nya adalah totalitas. "Kuncinya itu taslim, kepasrahan total."
Adapun sosok sebagai khalifatullah fil ardh harus berperan di tengah antara malaikat dan iblis. Hawa nafsu, kata Haedar, tidak untuk dibuang tapi dikendalikan. Sumber daya alam harus diberdayakan, bukan untuk merusak alam. "Umat Islam hadir di antara romantisme dan eksploitasi," kata Haedar