REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, Islam ala santri bermodelkan wasathiyah (moderat) yang bercirikan tawassuth (tidak ekstrem), tawazun (seimbang), dan tasamuh (toleran). Islam ala santri merujuk pada metode dakwah Walisongo di bumi Nusantara yang membumikan akulturasi budaya, penyelarasan konteks waktu dan kondisi lingkungan serta kemaslahatan bersama.
"Islam ala santri adalah Islam rahmatan lil alamin yang mampu beradaptasi dan berdialog sekaligus menghormati budaya lokal, kebiasaan dan tradisi masyarakat Indonesia yang majemuk," kata Lukman melalui keterangan tertulis kepada Republika, Sabtu (21/10).
Ia menerangkan, itu sebabnya santri di sini tidak dimaknai secara sempit. Artinya tidak dimaknai sebatas kaum sarungan yang belajar dan mengembangkan ilmu di pondok pesantren. Secara luas santri dimaknai sebagai umat Islam Indonesia yang mengamalkan ajaran Islam sesuai konteksnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Menag menyampaikan, pemerintah berpandangan bahwa Resolusi Jihad yang jadi pijakan Hari Santri tidak bersifat ekslusif melainkan inklusif. Resolusi Jihad dikeluarkan ulama bukan untuk memperjuangkan kelompoknya sendiri atau memikirkan umat Islam saja.
Tetapi lebih dari itu, Resolusi Jihad adalah cermin berpikir, bersikap dan bertindak ulama-santri untuk kepentingan Tanah Air. Juga untuk mempertahankan kedaulatan negara dan memerdekakan bangsa. Menurut Lukman, penetapan Hari Santri juga merupakan wujud peneguhan tanggung jawab kaum santri atas masa depan negara dan bangsa Indonesia.
"Hari Santri 22 Oktober adalah pengingat bangsa Indonesia agar tak lupa pada sejarah perjuangan kaum santri terdahulu yang telah menegakkan kehormatan agama dan bangsa mewujudkan cita-cita luhur NKRI," kata Menag.