REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kata hijrah akhir-akhir ini jadi tren di kalangan anak muda penggiat keagamaan. Kata hijrah tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan sudah taubat dan kembali pada jalan yang benar.
"Menurut Al Qusyairi Hijrah itu ada dua, hijrah maknawi dan hissi atau biasa disebut hijrah zhahir dan batin," kata Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat KH Muhammad Cholil Nafis kepada Republika.co.id, Rabu (20/9).
Cholil menjelaskan, hijrah batin adalah pindah dari kekufurun menuju iman dan dari berserah diri kepada makhluk menuju penyerahan diri seutuhnya kepada Allah SWT. Adapun hijrah zhahir adalah meninggalkan kemunkaran menuju keshalihan, dari pakaian terbuka menuju berhijab dan meninggalkan dunia kelam menuju hidayah.
Menurut pandangan Cholil, hijrah merupakan ungkapan yang menunjukkan dirinya insyaf dari dunia kelam atau maksiat menuju kesadaran beragama. Sebenarnya kata hijrah mulai dikenal sejak zaman Nabi Ibrahim As.
"Saat diucapkan bahwa saya berhijrah kepada Allah (Inni muhajirun ila rabbi QS 29:26). Lima ribu tahun kemudian di zaman Nabi SAW, nabi terakhir mulai dikenal lagi ungkapan hijrah saat Sayyidina Ustman diizinkan oleh Nabi SAW untuk hijrah (pindah) ke Habasyah," jelasnya.
Kemudian kata hijrah lebih populer saat peristiwa besar dan babak baru perjuangan Rasulullah ketika hijrah (pindah) dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 M. Peristiwa hijrah tersebut oleh Sayyidina Umar dijadikan nama tahun Islam atas saran Sayyina Ali dalam musyarah para sahabat tahun 14 H.
Cholil menerangkan, hijrah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW seuntai antara fisik dan jiwanya. Beliau hijrah dari Makkah ke Madinah, hijrah dari lingkungan yang mengusik ke lingkungan yang penuh keakraban. Sekaligus menunjukkan hijrah yang utuh dalam keimanan.
Momentum menyambut tahun baru hijriyah 1439 H yang bertepatan dengan tanggal 20 September 2017 M, kata Cholil, seyogianya bersama bermuhasabah (evaluasi) diri. "Apakah sudah melakukan hijrah dan memantapkan hijrah dalam menjalani kehidupan sehari-hari."