Rabu 16 Aug 2017 22:00 WIB

Keistimewaan Wakaf

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Tradisi wakaf (ilustrasi).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Tradisi wakaf (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Dalam kitab suci Alquran, perintah tentang shalat hampir selalu diiringi imbauan berzakat. Maknanya, ibadah personal mesti disusul dengan ibadah sosial seorang Muslim. Salah satu bentuknya adalah wakaf.

Secara kebahasaan, buku Fiqih Wakaf Kementerian Agama RI menjelaskan, waqafadalam bahasa Arab berarti `menahan' atau `diam di tempat'. Artinya, menurut Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, seseorang menghentikan hak miliknya atas suatu harta dan menahan diri dari penggunaannya dengan cara menyerahkan harta itu kepada pengelola untuk digunakan bagi kepentingan umum di jalan Allah.

Karena itu, harta yang diwakafkan mesti barang yang tidak habis dipakai, baik harta bergerak umpamanya buku- buku maupun tidak bergerak semisal tanah. Kebanyakan ulama sepakat bahwa hukum wakaf adalah sunah.

Dasarnya di kitab suci dapat ditelusuri pada surah Ali Imran ayat 92, Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan, apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.

Satu hal yang cukup istimewa dari wakaf adalah, pahala akan terus mengalir kepada pewakaf, bahkan setelah ia meninggal dunia. Itu selama pemanfaatan atas harta wakaf itu terus berlangsung.

Rasulullah SAW bersabda, Setiap amal perbuatan manusia akan terputus (pahalanya), kecuali tiga macam: sedekah jariah, anak saleh yang mendoakan orang tuanya, dan ilmu yang bermanfaat.

Di ranah fikih, cukup beragam definisi tentang wakaf. Mazhab Hanafi, misalnya, mengartikan wakaf sebagai upaya menahan suatu benda yang menurut hukum tetap milik pewakaf (wakif) dengan pemanfaatannya demi kebajikan bersama.

Oleh karena itu, wakif boleh menarik kembali atau menjual benda tersebut.

Agak berbeda dengan definisi itu, mazhab Maliki menilai, akad wakaf mesti mencegah pewakaf dari tindakan-tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas benda yang diwakafkannya itu kepada yang lain. Pewakaf juga tidak boleh menarik kembali wakafnya dalam masa tertentu yang sesuai akad. Karena itu, mazhab Maliki melarang wakaf berlaku kekal.

Adapun mazhab Syafii dan Hambali tentang ini hampir sama. Imam Syafii mendefinisikan wakaf sebagai tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus milik Allah, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada kebajikan sosial. Bagi dua mazhab tersebut, wakaf berarti melepaskan harta yang diwakafkan dari pewakaf setelah sempurna akad.

Dengan demikian, pewakaf tidak dapat melakukan apa-apa terhadap harta tersebut. Pewakaf juga tidak dapat melarang penyaluran sumbangan kemanfaatan harta itu. Bila pewakaf meninggal dunia, harta tersebut tidak dapat jatuh ke ahli warisnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement