REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menargetkan pembangunan 107 rumah susun (Rusun) Pondok Pesantren dalam rentang waktu 2015-2018. Unit yang akan dibangun berjumlah 3.040 dan anggarannya mencapai Rp 946,1 miliar.
Pengamat Pendidikan Islam Prof Didin Hafidhuddin mengatakan, bahwa pembangunan rusun tersebut tidak menjadi masalah selagi tujuannya untuk menjaga kesehatan para santri dan mempunyai tempat tinggal yang baik. Namun, dia berharap, rusun tersebut tidak mengubah kuktur kehidupan santri di pesantren.
Menurut dia, pesantren merupakan tempat belajar bagi santri, sehingga suasana khas pesantren yang mengedapankan kesederhanaan tidak boleh berubah, baik dari segi pembangunan asramanya maupun pergaulan sehari-harinya. "Jangan ada perabuhan perilaku itu saja. Kulturnya jangan berubah sebab adanya rusun itu. Karena pesantren itu lekat pada kepribadiannya, pada akhlaknya, pada moralnya, pada interaksi sehari-harinya," ujarnya kepada Republika.co.id, di Jakarta, Senin (14/8).
Didin menuturkan, konsep rusun selama ini telah terbukti membuat masyarakat terasingkan antar sesama. Hal itu karena masing-masing saling mementingkan urusan masing-masing. "Jangan sampai terjadi begitu. Karena kekuatan pesanrren itu pada inklusifnya antar para santri, para guru dan lain sebagainya. Jadi kulturnya, budaya yang perlu dilihat, itu saja sih yang perlu dijaga," ucapnya.
Dia pun menyarakan agar pemerintah membangun rusun tersebut dengan konsep yang sederhana saja tanpa menyediakan fasilitas-fasilitas yang terlalu mewah. Karena, menurut dia, pesantren adalah tempat belajar untuk kaderisasi ulama, mujahid, dan kaderasiasi pejuang.
"Kalau menurut saya sih bangunnya biasa saja seperti yang sudah-sudah, bisa menyatu. Mudah-mudahan juga desainnya memang untuk itu, untuk keperluan yang tidak terlalu mewah," kata Guru Besar Ilmu Agama Islam Institut Pertanian Bogor tersebut.