Jumat 28 Jul 2017 19:00 WIB

Dari Khadijah Hingga Umar Bin Abdul Aziz

Tradisi wakaf (ilustrasi).
Foto:

Pada masa Rasulullah, bila mendapat amanah zakat ataupun sedekah dari umat Islam pada pagi hari, zakat dan sedekah tersebut sudah terbagi habis kepada kaum fakir miskin pada waktu Zhuhur. Demikian juga dengan harta rampasan perang yang diperoleh kaum Muslimin, senantiasa selalu selesai peperangan beliau sendiri yang membagikan tanpa ada yang tersisa.

Sistem yang diterapkan Rasulullah SAW ini kemudian diteruskan oleh Khalifah Abu Bakar Shiddiq RA hingga permulaan kekhalifahan Umar bin Khattab. Tetapi, dengan semakin luasnya kawasan yang dibebaskan dan daerah yang ditaklukkan, kekayaan dari rampasan perang (ghanimah) juga bertambah, termasuk pemasukan dari kharaj dan jizyah (pajak). Semuanya masih diatur secara sangat sederhana.

Meski sebagian hasil rampasan dan pemasukan dari kharaj dan jizyah ini sudah dikeluarkan untuk membiayai pembangunan berbagai fasilitas umum serta ketertiban hukum di daerah yang ditaklukkan, kelebihan dari semua hasil pemasukan itu masih sangat besar. Kondisi tersebut memaksa Khalifah Umar bin Khattab RA untuk memikirkan suatu sistem moneter atau keuangan negara yang baru tumbuh itu.

Dalam beberapa sumber dikisahkan, sepulangnya dari menaklukkan Bahrain, Abu Hurairah RA menghadap Khalifah Umar dengan membawa uang 500 ribu dirham—jumlah yang sangat besar pada masa itu—sebagai hasil rampasan perang. Sejak saat itu, Umar membentuk lembaga keuangan khusus atau yang lebih dikenal dengan istilah baitul maal.

Pada tahap awal dibentuk, keberadaan baitul maal difungsikan sebagai tempat untuk menghimpun kelebihan dari hasil rampasan perang serta pemasukan dari pembayaran jizyah dan kharaj. Dari dana yang terkumpul di baitul maal ini, Khalifah Umar mulai menerapkan sistem pemberian tunjangan kepada orang-orang Arab pedalaman yang selama ini menjadi tentara pasukan Islam.

Pemberian tunjangan ini dimaksudkan agar para tentara tersebut dapat mengkhususkan diri dalam berjihad di jalan Allah, mereka bebas sepenuhnya melaksanakan tugas dakwah. Tujuan lainnya agar tentara Muslim ini senantiasa siap melaksanakan tugas dalam menegakkan agama Islam.

Bersamaan dengan diberlakukannya sistem ini, Umar mulai menerapkan pelarangan pembagian tanah kepada tentara di daerah yang sudah diduduki supaya mereka tidak mementingkan mengolah tanah daripada berjihad.

Tidak hanya tunjangan bagi orang-orang dari kalangan militer. Baitul maal ini juga mengurusi tunjangan untuk masyarakat sipil. Dalam beberapa sumber, lembaga tersebut digambarkan laiknya sebuah kantor registrasi yang mencatat dan menghitung orang-orang dari kalangan militer dan sipil yang harus mendapat tunjangan.

Pada masa kekhalifahan Islam, dana baitul maal tersebut juga banyak dipergunakan untuk memerdekakan budak. Sehingga, baitul maal ini memiliki peran besar dalam menghapus sistem perbudakan di wilayah kekuasaan Islam.

Pada masa Dinasti Umayyah, khususnya Umar bin Abdul Aziz, fungsi baitul maal terus meluas. Tidak hanya menyalurkan dana tunjangan, tetapi juga dikembangkan dan diberdayakan untuk menyalurkan pembiayaan demi keperluan pembangunan sarana dan prasarana umum. Bahkan, baitul maal juga dipakai untuk membiayai proyek penerjemahan buku-buku kekayaan intelektual Yunani kuno. Di sinilah gelombang intelektual Islam dimulai. Inilah salah contoh pengelolaan filantropi yang baik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement