Kamis 27 Jul 2017 17:35 WIB

Muak Hidup Glamor, George Green Belajar Islam

Mualaf/Ilustrasi
Foto:

Kesehariannya lekat dengan pesta dan hura-hura. Ia mengenal salah seorang yang bekerja di perusahaan rekaman dan memanfaatkannya agar bisa ikut pesta gratis setiap saat. Setelah lulus kuliah dari Auburn University of Montgomery, ia kemudian direkrut oleh perusahaan rekaman Roc-A-Fella Records sebagai asisten direktur nasional untuk marketing, branding, promosi, dan manajemen tur. “Ini sesuai dengan kemampuanku untuk mengorbitkan dan mempromosikan artis,” katanya.

Menjalani pekerjaannya ini membuatnya bangga. Ia bisa meraih impian dari seorang pria kulit hitam, yaitu bisa kaya dan terkenal, punya banyak pacar, dihormati, dan punya kekuasaan. “Namun, di balik kepuasan itu jiwaku merasa kosong,” ujarnya.

Hingga suatu hari ia melakukan perjalanan kerja ke negara-negara di Timur Tengah, seperti Dubai, Kuwait, Irak, Bahrain, dan Abu Dhabi pada 2004. Di situ ia kagum dengan keramahan penduduknya yang menyambutnya dengan penuh senyuman dan tangan terbuka, padahal ia bukan Muslim. Ini berbeda 180 derajat dengan sikap yang biasa orang-orang Amerika tunjukkan jika mereka bertemu dengan Muslim.

Kekagumannya ini kemudian berlanjut dengan rasa ingin tahu yang begitu besar. Ia pun semakin hormat dengan orang-orang Islam karena mereka mau menjawab pertanyaannya seputar dasardasar Islam. “Aku ingin semakin tahu lebih dalam hingga saat Ramadhan 2010, aku memutuskan untuk tinggal di Irak dan Kuwait selama dua minggu,” ujarnya.

Pengalaman relijius ini menyentuh dasar kalbunya. Ia merasa telah menemukan jawaban atas kekosongan jiwanya selama ini yang dirasakannya. Sekembalinya ia ke Amerika, ia pun sudah siap untuk mengucapkan syahadat dan masuk islam.

Namun, ia masih khawatir bagaimana nanti lingkungannya, teman-teman, dan keluarganya bisa atau tidak menerimanya sebagai seorang Muslim di tengah mereka. Sebuah mimpi di suatu malam membuatnya menepis ketakutan ini. Ia kemudian mantap masuk Islam secara resmi pada 30 April 2012.

Masa awal menjadi Muslim ia mengakui banyak menemui kesulitan. Orang-orang di sekitarnya yang dekat dengan banyak masalah kriminal mulai menghindarinya. Saat ia ingin bergaul dengan komunitas Muslim, ia dipandang sebelah mata karena ia berkulit hitam dan penampilannya seperti anggota gangster. “Namun, kesulitan yang aku hadapi tak pernah mematahkan niatku. Aku terus datang ke masjid dan banyak mendapatkan pencerahan dari para imam yang semakin memantapkan imannya,” katanya.

Ia menemukan sebuah kepuasaan yang tak tenilai saat ini. Ia masih ingat, saat jiwanya merasa kosong dulu, ia berkalikali mencoba apa pun untuk mengisi relung jiwa yang kosong tersebut, namun ia tak pernah merasa puas. “Aku terus merasa kosong, hingga akhirnya aku bertemu Islam,” katanya.

Disarikan dari Pusat Data Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement