REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang istri, yang bertugas sebagai kepala urusan kerumahtanggaan seringkali berurusan pula dengan pembantu rumah tangga. Kisah tragis yang dialami oleh tenaga kerja wanita yang bekerja di luar negeri, atau bahkan di dalam negeri, menyisakan tanda tanya besar terkait moralitas dan etika memperlakukan pembantu.
Dan ternyata, pola hubungan antara tuan dan pembantunya itu diatur sedemikian rupa dalam Islam. Hal itu salah satu tujuannya ialah untuk menghindari terjadinya pelanggaran hak dan tidak terlaksananya kewajiban. Lantas apa saja hal yang mesti diperhatikan oleh para istri sebelum memutuskan memperbantukan seorang pembantu?
Sikap yang diteladankan Rasulullah saat memperlakukan pembantunya pada dasarnya menjadi gambaran umum tentang pola ideal antara majikan dan pembantu.
Beberapa hal penting yang ditekankan Islam terkait etika mempekerjakan pembantu terangkum dalam beberapa poin utama berikut, yaitu, yang pertama, berperilaku baik dan wajar kepada para pembantu.
Mereka sama halnya manusia lainnya, yang memiliki rasa dan hak untuk diperlakukan laik dan pantas. Dalam hadis riwayat Bukhari yang mengisahkan perihal sikap Rasulullah terhadap Anas bin Malik adalah acuan mendasar yang harus dijadikan pedoman bagi para majikan.
Kedua, bayarlah gaji pembantu sesuai dengan kesepakatan awal. Lebih baiknya, kesepakatan tersebut tercatat rapi dalam sebuah dokumen. Sebagai arsip, cara ini akan lebih memudahkan bila suatu saat terjadi masalah. Sebab, pembayaran gaji yang tidak sama dengan perjanjian awal dianggap sebagai kezaliman yang besar.
Dalam sebuah riwayat Bukhari, Rasulullah bersabda, “Allah SWT berfirman, ‘Ada tiga kategori golongan yang Aku menentangnya (kelak) di hari kiamat: lelaki yang berinfak kemudian ditarik kembali, lelaki yang menjual orang merdeka lalu memakan uangnya, dan orang yang mempekerjakan pekerja dan telah mendapatkan hasilnya, tetapi tidak memberikan upah.”
Termasuk dalam poin ini ialah hendaknya membayar upah pembantu tepat waktu dan tidak menundanya selama ia mampu. Seorang majikan yang mampu lantas tidak menunaikan kewajibannya, maka tindakan itu dikategorikan sebagai perbuatan zalim. “Penundaan (membayar utang) orang yang kaya adalah zalim.”
Riwayat lain dari Abdullah bin Umar menganjurkan agar menyegerakan pembayaran upah para pembantu. Disebutkan, permisalan jangka pembayarannya ialah sebelum keringat pekerja yang bersangkutan mengering.
Ketiga, tidak memberikan beban pekerjaan yang melampaui batas kemampuan mereka. Jangan sampai hal ini disepelekan. Membebani pembantu dengan tugas yang berat bisa menyakiti mereka. Perlakukanlah mereka seperti bagian dari keluarga sendiri. Rasulullah mewanti-wanti agar hal itu dilakukan.
Dalam hadis riwayat Bukhari dijelaskan bahwa barang siapa yang saudaranya berada di bawah perintahnya (bekerja untuknya), maka berikan makanan yang sama dengan yang ia makan, pakaian yang ia kenakan, dan hendaknya tidak memberikan tugas di luar batas kewajaran yang lantas dapat menyebabkan sakit.
Keempat, tidak berlaku kasar terhadap pembantu, apalagi menganiaya mereka dengan pukulan, tamparan, ataupun bentuk penganiayaan lainnya. Termasuk, menyakiti mereka dengan perkataan-perkataan hina yang merendahkan dan mencibir kehormatan mereka. Diriwayatkan dari Abu Mas'ud Al Badari RA, ia berkisah suatu saat ia pernah mencambuk pembantunya dengan cambuk.
Ia mendengar seseorang berbicara dan menegurnya dari belakang. Awalnya, ia tak mengerti apa yang dimaksud lelaki tersebut. Betapa kagetnya bahwa sosok tersebut ialah Rasulullah yang lantas bersabda, ”Ketahuilah Abu Mas'ud, Allah mencatat segala tindakanmu atas pembantu ini.” Sejak peristiwa itu, Abu Mas'ud tidak pernah sekali pun memukul pembantunya.
Pantaslah bila Anas bin Malik RA mengaku, selama kurang lebih sepuluh tahun mengabdi, ia tidak pernah mendapati Rasulullah mengumpat, menyalah-nyalahkan pekerjaannya yang telah ia lakukan.
Dalam kurun waktu itu pula, yang ia dapati justru penghormatan dan perlakuan baik dari Nabi beserta keluarga. Rasulullah juga tidak pernah menjadikan profesi yang dilakoni Anas bin Malik sebagai status sosial lalu mendiskriminasi mereka berada di level sosial paling bawah.