REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam artikel "Fiqih Muslimah" di "Dialog Jumat" edisi sebelumnya, telah dibahas hak-hak istri di terhadap suami. Betapa istri memiliki hak untuk tidak diperlakukan sewenang-wenang saat melakukan suatu kesalahan. Meski demikian, Allah SWT lewat firman-Nya di dalam Alquran menjelaskan bahwa suami boleh melakukan tindakan fisik kepada istri manakala sikap istri sudah tidak bisa ditoleransi.
"Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri). Karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan). Dan karenanya mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka, perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada. Karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi, jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar." (QS an-Nisa: 34).
Dalam istilah fikih, pembangkangan seorang istri terhadap suami disebut dengan nusyuz. Bahtul Masail Nahdlatul Ulama menjelaskan, "pembangkangan" merujuk pada ketidaksediaan istri untuk berhubungan suami-istri dan tindakan perlawanan istri terhadap suami.
Bila tampak tanda-tanda pembang kangan dari seorang istri, seperti ber akhlak buruk dan merasa lebih tinggi dari suami, suami harus menasihatinya dan mengingatkannya akan sanksi yang Allah siapkan di akhirat. Tak hanya itu, suami pun berkewajiban mengingatkan tentang mudharat di dunia sesuai dalam syariat yang akan menderanya, seperti gugur kewajiban nafkah dari suami. Bila istri masih saja membangkang, suami boleh memilih untuk mengacuhkan istri saat di kamar tidur. Hanya, suami tidak boleh mendiamkan istrinya lebih dari tiga hari.
Di dalam buku Panduan Lengkap Muamalah karya Muhammad Bagir, dikatakan jikalau istri terus membangkang maka suami boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak me nyakit kan dan tidak melukai. Rasulullah SAW telah menjelaskan, hanya tindakan fisik ringan yang boleh diterapkan kepada istri. Bukan di wajah atau bagian-bagian lain tubuh, sehingga dampaknya pun menyakitkan dan fatal. Mengingat, hu kuman ini diberikan demi peringatan atau pengajaran semata-mata. Bukan demi pelampiasan kebencian, dendam, atau penghinaan.
Abu Daud, Nasa'i, dan Ibn Majah merawikan bawa Nabi SAW pernah ber sabda, "Janganlah kalian memukuli sa ha ya-sahaya Allah (para istri)." Tidak lama setelah itu, Umar ra menghadap Nabi dan berkata, "Ya Rasulullah, para istri telah menjadi berani terhadap suami-suami mereka!" Maka, beliau pun mengizinkan para suami untuk mela kukan tindakan fisik ringan kepada istri. Setelah peristiwa tersebut, banyak di antara kaum Muslimah mendatangi para perempuan keluarga Nabi SAW.
Mereka mengadukan suami-suami mereka. "Sungguh, telah banyak diantara para istri yang mendatangi para wanita keluarga Muhammad untuk mengeluh kan suami-suami mereka. Ketahuilah, suami-suami seperti itu tidaklah termasuk orang-orang baik di antara kalian."
Di lain kesempatan, Nabi SAW per nah ditanya Muawiyah bin Haidah Al- Qusyairi, "Ya Rasulullah, apa hak istri seseorang dari kami?" Jawab beliau, "Memberinya makan sama seperti yang kamu makan, memberinya pakaian seperti yang kamu pakai, tidak sekalikali memukul wajahnya, tidak menunjukkan caci maki kepadanya, dan tidak berkata kurang senonoh kecuali di rumah sendiri (ketika bercanda)."
Nabi kemudian menambahkan, "Janganlah seseorang di antara kamu memukuli istrinya di awal hari seperti layaknya seekor keledai lalu mencampurniya di malam hari. Tak hanya itu, Rasulullah SAW pun bersabda, "Yang terbaik di antara kamu adalah yang terbaik perlakuannya terhadap istrinya. Dan akulah--di antara kamu--yang terbaik perlakuannya terhadap istrinya."
Atas dasar dalil-dalil tersebut dan fakta bahwa Rasulullah SAW tidak pernah memukul terhadap para istrinya, mayoritas ulama pun menegaskan bahwa pemukulan kepada istri hanya dibolehkan dengan simbolis. Misalnya, memukulnya dengan siwak atau dengan sepotong kain dan sebagainya. Sehingga, pukulan itu tidak melukainya atau mencederainya sedikit pun.
Di samping itu, hukuman terhada istri tidak boleh dilakukan tanpa adanya bukti nyata bahwa dia telah melakukan nusyuz. Jikalau hukuman tersebut harus dilakukan, tidak dibenarkan melakukannya lebih dari sekadar yang diperlukan. Tujuan nya, hanya untuk mengembalikannya kembali ke akal sehat. Hukum an di beri kan bukan untuk melampiaskan kebencian, balas dendam, atau penghinaan. Seandainya istri sudah menunjukkan tanda-tanda memperbaiki diri, hendaklah suami menerima dengan besar hati. Tanpa mengungkit-ungkit apa yang terjadi sebelumnya. Wallahua'lam.