REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hidup memang penuh lika-liku. Tak selamanya lurus, ada kalanya jalan yang ditempuh berkelok-kelok. Demikian pula soal keteguhan hati. Terkadang sangat kuat dan tak jarang berada dalam titik nadir. Bukan perkara mudah memang tetap konsisten memegang agama Allah SWT.
Tetapi, apa yang membuat Abdullah bin Hudzafah bin Qais as-Sahami tak gentar kala Umar bin Khatam mengutusnya guna berdakwah ke penguasa Romawi. Abdullah menolak tawaran bergelimang gemerlap duniawi dengan konsekuensi meninggalkan agama Allah SWT.
Dia pun akhirnya ditawan dan disiksa. Anak panah demi anak panah bersarang ke tangan hingga sekujur tubuhnya yang dilepaskan dari jarak dekat. Bahkan, sesaat sebelum kepala Abdullah berpisah dari badannya, dia tak ingin meninggalkan keyakinan yang dia anut.
Dr Muhammad Musa as-Syarif memaparkan bahwa tsabat atau konsistensilah rahasia di balik ketegaran itu. Tetapi, diakui tak mudah menjalankannya. Fakta tersebut dia ungkapkan dalam bukunya yang berjudul ats-Tsabat. Buku ini bolehlah sederhana, tetapi sarat dengan pesan maknawi akan pentingnya menjaga konsistensi tersebut.
Muhammad menjelaskan ada beberapa hal yang bisa menggoyahkan konsistensi itu. Sebut saja, yang paling sering bercokol ialah kecintaan pada dunia. Takut hilang pangkat, khawatir rezeki hilang, atau terlalu berlebih meletakkan kecintaan pada anak istri melebihi apa pun. Karena, sejatinya, harta, anak, dan jabatan yang diemban sekalipun di satu sisi adalah anugerah dan amanat, tetapi pada saat bersamaan, juga bisa menjadi cobaan. “Sesungguhnya, hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) dan di sisi Allahlah pahala yang besar.” (QS at-Taghabun [64]: 15).
Faktor kegagalan konsistensi adalah meremehkan perkara-perkara kecil, termasuk soal dosa. Menganggap emeh dosa-dosa ringan, menyebabkan dosa-dosa itu kian berlipat ganda. Karena itu, Rasulullah dalam Hadis Riwayat Abdullah bin Mas’ud mengingatkan agar menghindari dosa kecil karena bisa melenakan.