Senin 24 Apr 2017 06:35 WIB

Balai Muslimin Indonesia, UII: Jihad Pemuda Islam di Awal Kemerdekaan

Soekarno-Hatta berembug bersama para tokoh di awal kemerdekaan
Foto:
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

Dalam perkembangannya, Balai Muslimin tidak hanya berfungsi sebagai asrama mahasiswa STI dan tempat menginap tokoh-tokoh Islam dari luar Jakarta, tetapi juga menjadi salah satu markas perjuangan nasional. Gedung ini menjadi salah satu tempat bertemu para pemimpin pergerakan nasional.

Ketika situasi politik semakin mencekam di akhir masa pendudukan Jepang, para mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) di Jalan Prapatan No. 10, mengalihkan kegiatan pendidikan politiknya ke Balai Muslimin.

Ceramah-ceramah politik di Balai Muslimin diberikan oleh tokoh-tokoh politik terkenal yang betul-betul berjuang untuk masa depan bangsa, dan tidak berhaluan komunis. Tokoh-tokoh itu antara lain Bung Karno, Bung Hatta, Soekardjo Wirjopranoto, Ki Hadjar Dewantara, dan Otto Iskandardinata.

Malam hari sesudah sukses menyelenggarakan rapat raksasa di Lapangan Ikada pada 19 September 1945, markas Angkatan Pemuda Indonesia (API) di Jalan Menteng Raya 31 digrebeg tentara Jepang. Alat-alat perjuangan seperti radio, disita, dan sejumlah pemimpin API ditangkap. Sejak itulah asrama mahasiswa STI, Balai Muslimin di Kramat Raya 19, dan asrama mahasiswa Ika Daigaku di Prapatan 10 menjadi pusat perjuangan pemuda.

Kelak ketika pasukan NICA mendirikan markas Batalyon X dekat Prapatan 10, asrama Ika Daigaku tidak lagi melakukan aktifitas. Sejak itu, praktis Balai Muslimin menjadi satu-satunya markas pemuda pejuang di Jakarta yang terus aktif.

Dan, untuk mempererat tali persaudaraan di antara mahasiswa STI, pada 10 Juli 1945 didirikan Persatuan Pelajar (saat itu istilah mahasiswa belum populer) STI yang dipimpin oleh Soebianto Djojohadikusumo (Ketua Umum, gugur di Tangerang), Soeroto Koento (Wakil Ketua I, hilang di masa revolusi, namanya diabadikan menjadi nama jalan di Karawang), Bagdja Nitidiwirja (Wakil Ketua II), dan Siti Rahmah Djajadiningrat (Sekretaris). Balai Muslimin dijadikan tempat bertemu anggota PP STI di sore atau malam hari.

Pada 10 Agustus 1945, Soebianto datang ke Balai Muslimin memberitahu bahwa Sekutu telah mengebom Jepang. Sesudah itu Soebianto "menghilang". Beberapa hari kemudian, melalui seorang teman, Ketua PP STI itu mengirim pesan agar pada tanggal 15, 16, dan 17 Agustus, para anggota PP STI berhati-hati dan meningkatkan kewaspadaan.

"Pada tanggal-tanggal tersebut akan terjadi peristiwa yang sangat penting," pesan Soebianto.

Dengan pesan itu, segera sesudah Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, para mahasiswa STI menyingsingkan lengan baju.

Para penghuni dan mereka yang tidak tinggal di Balai Muslimin dan bekerja di berbagai kantor pemerintah membentuk organisasi angkatan muda. Sjarwani dan Alimoeddin Nasoetion yang bekerja di Kementerian Keuangan, membentuk Angkatan Muda Pegawai Negeri. Djanamar Adjam melakukan hal yang sama di Kementerian Perhubungan. Bachroem Rangkoeti bergerak di radio. Yang lain, keluar masuk kampung di seantero Jakarta untuk membentuk barisan pertahanan rakyat.

Seorang aktifis PP STI, Karim Halim, ketika sedang berkeliling Jakarta, bertemu B M Diah. Pendiri koran Merdeka itu memberinya setumpuk uang kertas Jepang. "Ini uang," kata Diah.Gerakkan revolusi!" Oleh Halim, uang itu digunakan untuk biaya makan di asrama yang makin hari makin ramai.

Soeroto Koento, entah dapat dari mana, mengumpulkan banyak kendaraan truk dan berdrum-drum bahan bakar pesawat terbang. Bahan bakar itu digunakan untuk kendaraan Bung Karno dan Bung Hatta. Semua truk dan drum ditampung di halaman dalam Balai Muslimin.

Djanamar Adjam memperoleh banyak senjata, sebagian besar pistol dan granat yang didapat dari perkebunan karet di Serpong. Senjata itu dibagi-bagi ke para penghuni Balai Muslimin. Sisanya disimpan oleh Soebianto dan Bagdja.

Anwar Harjono memasukkan banyak sekali bambu runcing yang diantar oleh para pemuda Tanah Abang. Bersama seorang temannya, Harjono bahkan pergi ke Cileungsi, Bogor, untuk mencari senjata sebagai persiapan menghadapi perang mempertahankan kemerdekaan. Di Cileungsi ketika itu terdapat markas tentara Jepang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement