REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam dunia pendidikan Indonesia, keberadaan madrasah tidak bisa dianggap enteng. Sebab, institusi yang menjadikan pengajaran agama Islam sebagai ciri khasnya itu mempunyai andil yang cukup besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jika ditelusuri kembali ke masa silam, madrasah boleh dikatakan sebagai saksi perjuangan pendidikan kaum pribumi Indonesia yang tak kenal henti. Pada zaman penjajahan kolonial Belanda, madrasah didirikan untuk semua warga. Baik yang kaya, miskin, orang terpandang, maupun rakyat jelata, mereka semua bisa mengenyam pendidikan di lembaga perguruan Islam tersebut.
Menurut catatan sejarah, madrasah di Indonesia pertama kali muncul di Sumatra Barat. Dimulai dari pendirian Madrasah Adabiyah di Padang yang dirintis oleh Abdullah Ahmad pada 1908. Dua tahun berselang, berdiri pula Madras School di Batusangkar yang oleh Syekh M Taib Umar. Pada tahun yang sama, Syekh Ibrahim Musa juga mendirikan Madrasah Sumatra Thawalib di Parabek, Bukittinggi.
Selanjutnya, Syekh Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul (ayah kandung Buya Hamka) secara resmi mendirikan Madrasah Thawalib di Padangpanjang pada 1911. Kemudian, Zainuddin Labay El Yunusy merintis Diniyah School di pada 1915. Di Jawa, sistem pendidikan madrasah mulai berkembang sejak 1912. Pada masa itu, ada beberapa model madrasah yang didirikan oleh para ulama setempat. Dari model yang mengadopsi sistem pendidikan Belanda, seperti yang dilakukan Muhammadiyah lewat Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin, Mubalighien, dan Madrasah Diniyah. Ada juga model madrasah yang dikembangkan organisasi al-Irsyad al-Islamiyyah di Jakarta sejak 1914.
Meskipun sejarah mencatat madrasah memiliki peran penting dalam perjuangan bangsa Indonesia, keberadaan lembaga pendidikan tersebut seakan-akan masih terpinggirkan dibandingkan sekolah-sekolah umum. Hal itu salah satunya bisa dilihat dari minimnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan guru-guru madrasah di negeri ini.