REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sampai hari ini, Indonesia masih menempati peringkat teratas dalam daftar negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Namun, peringkat itu tampaknya tidak berbanding lurus dengan tingkat melek umat Islam Tanah Air terhadap kitab suci mereka.
Faktanya, hasil sensus nasional oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2013 menunjukkan, lebih dari 54 persen Muslim Indonesia tidak bisa membaca Alquran. Melihat kenyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa tugas yang diemban para guru mengaji dalam membumikan Alquran di tengah-tengah masyarakat negeri ini masih amat berat.
Hal itu seperti diungkapkan oleh Kepala Taman Pendidikan Alquran (TPA) al-Islah Bukit Harapan Soerang Parepare, Sulawesi Selatan, Ustaz Lukman, belum lama ini. "Salah satu tantangan terbesar guru ngaji/ kita saat ini adalah menumbuhkan semangat di kalangan anak-anak agar mau mencintai Alquran," ujarnya saat berbincang dengan Republika.co.id, belum lama ini.
Dia mengatakan, mayoritas guru yang mengajar di TPA-TPA saat ini menggunakan metode Iqro dalam mendidik santri mereka. Menurut Lukman, metode tersebut sebenarnya cukup efektif diterapkan untuk mengentaskan buta huruf Alquran. "Berdasarkan pengalaman kami, dengan menggunakan metode Iqro, anak-anak yang tadinya sama sekali tidak bisa baca Alquran jadi bisa membaca Kitab Suci dalam waktu relatif singkat, yaitu satu hinga dua tahun. Paling lama tiga tahun," ujarnya.
Yang menjadi kendala, kata Lukman, tidak semua siswa di tempatnya yang konsisten mengikuti materi yang dia ajarkan. Dari total 40 santri yang terdaftar di TPA al-Islah Bukit Harapan saat ini, yang rutin masuk kelas setiap hari hanya berkisar 18 hingga 20 orang saja.
"Selebihnya, sering absen tanpa alasan yang jelas. Kami juga tidak bisa memaksa anak-anak untuk terus mengikuti pelajaran yang kami berikan. Karena, kalau memaksa, nanti kami malah dicap melanggar HAM atau semacamnya," kata pria itu.