Jumat 14 Apr 2017 16:30 WIB
Belajar Kitab

Shafahat min Shabr Al-Ulama Ungkap Cara Ulama Menuntut Ilmu

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi Kitab Kuning
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi Kitab Kuning

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jabir bin Abdullah sangat tertarik dengan sebuah hadis yang menggambarkan suasana Padang Mahsyar. Ahli hadis terkemuka pada abad ke-1 H itu pun mencoba menelusuri kebenaran sabda Nabi SAW itu. Sayangnya, orang yang meriwayatkan hadis itu telah hijrah dan menetap di Syam (kini Suriah). Padahal, Jabir menetap di Hijaz, sekarang masuk wilayah Arab Saudi.

Periwayat 1.540 hadis itu tak patah semangat. Jarak antara Hijaz dan Syam yang begitu jauh, tak menciutkan tekadnya untuk menelisik kebenaran hadis itu. Jabir lalu membeli sebuah unta. Ia pun mengarungi ganasnya padang pasir demi mencapai Syam. Perjalanan menuju kota itu tak cukup sepekan. Ia menghabiskan waktu selama satu bulan untuk bertemu sahabat Nabi SAW yang meriwayatkan hadis yang ingin diketahuinya.

Kisah yang termuat dalam kitab al-Adab al-Mufradkarya Imam Bukhari itu, menggambarkan betapa seriusnya para ulama pada zaman dulu dalam mengejar ilmu dan kebenaran. Jarak yang jauh tak menjadi halangan. Jabir merasa bertanggung jawab untuk mengungkap kebenaran dari sebuah hadis yang diketahuinya. Ia mengaku khawatir tak akan cukup umur bila tak segera membuktikannya.

Begitu banyak kejadian luar biasa yang dialami oleh para ulama saat mereka menuntut ilmu. Bahkan, adakalanya peristiwa yang dialami para ulama itu di luar kemampuan nalar manusia. Peristiwa yang mereka hadapi pun cukup beragam. Kadang kala, berupa kejadian fisik, bisa pula nonfisik. Beragam peristiwa dalam kehidupan dicatat oleh para ulama melalui karya-karya mereka.

Kisah-kisah tentang pengalaman dan peristiwa yang dialami para ulama, seperti kisah perjalanan Jabir dari Hijaz menuju Syam, tertuang secara apik dalam sebuah kitab yang ditulis oleh Abdul Fattah Abbu Ghaddah. Dalam kitabnya, Abu Ghaddah mengangkat peristiwa dan pengalaman hidup para ulama.

Boleh jadi, tema yang diangkat ulama dari tanah Arab itu belum pernah disentuh oleh sejumlah penulis, bahkan ulama salaf (zaman dulu) sekalipun. Melalui kitabnya yang sederhana itu, Abbu Ghaddah berupaya menggambarkan keteladanan dan ke sungguhan para ulama pada zaman dulu dalam mencari ilmu. Harapannya, tentu saja agar dicontoh generasi Muslim di era modern ini.

Abu Ghaddah mengaku, menulis kitab itu bukan tanpa alasan. Semua berawal dari rasa penasaran dan rasa ingin tahunya tentang kiprah ulama dalam mencari ilmu. “Apa tujuan dan manfaat para ahli fikih membahas kasus-kasus yang dalam hitungan akal sehat—atau bahkan, menurut fakta sehari-hari dan kacamata agama—tak pernah dan tak mungkin terjadi?’’ ujarnya. Dalam istilah fikih, kerap disebut dengan fikih nawadir.

“Apa gunanya mereka (para ulama) bersusah payah?” tulis Abu Ghaddah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement