Selasa 28 Mar 2017 22:11 WIB
Islam di Nusantara

Mengenal Kesultanan Siak

Siak
Foto: riau.go.id
Siak

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sejarah nusantara, nama Kesultanan Siak Inderapura nyaris luput dari pantuan publik Tanah Air. Padahal, kerajaan yang terletak di Pulau Sumatra ini pernah Berjaya pada abad 17-an Masehi. Cakupan wilayahnya cukup luas dan perannya juga besar dalam menegakkan ajaran Islam di nusantara.

Menurut Guru Besar dari Fakultas Adab UIN Syarief Hidayatullah Jakarta Prof Dien Madjit, kurang populernya nama Kesultanan Siak karena informasi yang didapatkan masih sangat sedikit. “Masih banyak naskah dan bukti sejarah lain yang belum dikupas informasinya,” katanya.

Kesultanan Siak sendiri memegang kekuasaan dalam waktu lama. Dari informasi yang ada, kesultanan ini berdiri sejak abad ke-18. Kekuasaannya sangat luas, mencakup Pulau Sumatera, perairan Malaka, semenanjung Malaka, hingga ke Kalimantan di Sambas dan Pontianak.

Dari bukti-bukti sejarah yang telah ditemukan, diperoleh informasi bahwa berdirinya Kesultanan Siak Inderapura ini masih berhubungan dengan kerajaan Islam besar sebelumnya.

Dalam tulisannya yang berjudul “Naskah Kesultanan Siak sebagai Pintu Gerbang Pembuka Kejayaan Melayu-Nusantara”, Dien menjelaskan bahwa berdirinya Kesultanan Siak ini masih berhubungan dengan peristiwa runtuhnya kekuatan Kesultanan Malaka pada 1511 karena ditaklukkan oleh Portugis. Runtuhnya Malaka ini menjadi titik bangkitnya kesultanan Melayu lainnya, seperti Johor, Pahang, Patani, dan lainnya.

Dari semua kesultanan tersebut, Johor bisa membuat kerajaannya besar layaknya Malaka sebelumnya. Apalagi, raja pertamanya, Sultan Alauddin Riayatsyah II, merupakan anak dari raja Kesultanan Malaka yang terakhir.

Johor yang terus berkembang menjadi kerajaan maritim yang kuat kemudian mulai terkikis kekuasaannya karena perebutan kekuasaan antarsaudara. Pada 1722 terjadi pertikaian besar, di mana Sultan yang berkuasa saat itu, yaitu Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah yang dikenal sebagai Raja Kecik, dimakzulkan.

Saat itu kemudian diadakan sidang dan diperoleh perjanjian bahwa kekuasaan Johor dibagi dua agar pertikaian tersebut berakhir. Raja Sulaiman yang melakukan kudeta diberikan kekuasaan di wilayah kepulauan Riau, Lingga, Johor, dan Pahang. Dialah yang kemudian menyandang predikat sebagai raja Johor berikutnya.

Sedangkan, sang Raja Kecik tersingkir, namun tetap diberikan kekuasaan di wilayah Buantan, Siak, dan pulau-pulau sekitarnya. “Raja Kecik kemudian mendirikan kerajaan baru bernama Siak Inderapura tepat pada 1723,” tulisnya.

Dalam laman Melayuonline, (Pemilik laman ini sudah berkenan jika saya mengutip isinya), dalam membentuk sebuah kerajaan baru, Raja Kecik kemudian membenahi wilayah ini dengan membuat landasan sistem pemerintahan, militer, dan sistem perekonomian untuk menentang monopoli kolonial Belanda dan Bugis. Bugis di sini dipersulit karena pasukan Bugis ikut turut andil dalam peristiwa pemakzulannya sebagai sultan Johor.

Ia membangun kekuatan di bidang militer dengan membentuk armada maritim yang kuat, di bawah pimpinan Laksmana Raja Di laut. Bintan dijadikan tempat pembuatan kapal perang dengan senjata yang didatangkan dari wilayah luar Siak.

Ia juga memanfaatkan Bandar Sabah Auh untuk dikembangkan sebagai pusat perdagangan yang bisa menjangkau hubungan dagang hingga ke Minangkabau dan Aceh. Di samping itu, ia juga membangun nama baik kerajaan barunya dengan menjalin hubungan dengan negri Islam yang lain, seperti Minangkabau, Turki, Arab, dan Mesir.

Sedikit demi sedikit, di bawah kepemimpinannya kerajaan ini mulai berkembang. Dengan penuh percaya diri, ia kemudian kembali menyerang Kesultanan Johor dan memperluas cakupan wilayahnya. Karena hebatnya armada maritim yang dimilikinya, Kerajaan Siak ini juga berhasil mengobrak abrik alur pedagangan Belanda di wilayah ini.

Pada 1746, Raja Kecik wafat. Meski diwarnai dengan perebutan kekuasaan antarsaudara, para penggantinya bisa mengembangkan kerajaan ini menjadi lebih besar lagi. Kesultanan ini bertahan hingga 11 generasi raja selanjutnya. Wilayahnya semakin luas, sarana dan prasarana banyak dibangun, masyarakat menjadi semakin maju, dan budaya Islam semakin dikembangkan.

Salah satu prestasi kerajaan ini yang patut diacungi jempol adalah karena bisa sanggup mempertahankan diri dari berbagai tipu daya dan serangan Kolonial Belanda. Kekuatan maritim dan rakyat yang bersatu bisa mempecundangi Belanda sehingga akhirnya justru Belandalah yang terusir dari wilayahnya.

Akhir dari Kesultanan Siak ini juga punya cerita yang patut dibanggakan. Jika banyak kerajaan di nusantara yang hancur karena diluluhlantakkan oleh pemerintahan kolonial, Kesultanan Siak bisa bertahan menghadapi derap senjata canggih dan pasukan militernya.

Kesultanan ini masih berdiri tegak hingga Indonesia memperoleh kemerdekaannya. Hingga akhirnya sang raja terakhir secara resmi menyerahkan kedaulatan kerajaan ini untuk bergabung dengan NKRI. “Sultan Kasim II, raja terakhir Kesultanan Siak, bahkan menyumbangkan harta sebanyak 13 ribu gulden kepada RI,” kata Dien.

Walaupun ini merupakan akhir dari eksistensi Kesultanan Siak, banyak peninggalan kerajaan seperi istana dan masjid megah yang masih bisa kita saksikan hingga sekarang. Pengaruh warisan budaya dan adat istiadat pun masih dipertahankan hingga kini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement