REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abdullah mengisahkan pertemuannya dengan pemuda tersebut. Tiba-tiba Harun al-Rasyid berlinangan air mata dan menangis terisak-isak sampai Abdullah merasa iba kepadanya. Setelah ia agak tenang, Abdullah bertanya kepadanya, “Wahai amirul mukminin, siapakah remaja itu sebenarnya?”
Ia menjawab, “Ia adalah anakku.”
“Bagaimana hal ini bisa terjadi ?” tanya Abdullah
Harun menjawab, “Ia dilahirkan sebelum aku menjabat sebagai khalifah dan ia tumbuh menjadi anak yang saleh. Ia menghafal Alquran dan mempelajari ilmu syar'i. Ketika aku diangkat menjadi khalifah, ia meninggalkan aku dan tidak mau menikmati harta dunia yang aku miliki sedikit pun juga.
Maka aku menyerahkan cincin ini kepada ibunya, ia adalah permata yang sangat mahal harganya.
Aku berkata kepada ibunya, serahkan cincin ini kepada anak kita dan mintalah agar ia membawanya agar ia bisa memanfaatkannya suatu hari kelak. Ia adalah seorang anak yang sangat berbakti kepada ibunya. Semenjak ibunya meninggal, aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya kecuali kabar yang telah engkau sampaikan kepadaku.”
Saat itu juga, Sang Khalifah meminta Abdullah untuk mengantarkannya ke makam pemuda yang ternyata putra Khalifah itu. Tiba di pemakaman, Harun duduk di samping kuburan dan menangis terisak-isak sampai ketika fajar telah terbit.
Sang Khalifah meminta Abdullah untuk menemaninya berziarah ke makam anaknya itu. “Aku pun berjanji untuk senantiasa menemaninya berziarah setiap malam. Berkata Abdullah bin Al Faraj, “Aku sungguh tidak mengetahui bahwa remaja itu anak khalifah sampai Harun al-Rasyid memberitahuku.