Jumat 17 Feb 2017 15:29 WIB

Kewajiban Memilih pada Pilkada

Rep: A Syalabi Ichsan/ Red: Agung Sasongko
Pilkada (ilustrasi)
Foto:
Pilkada (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dia pun mempertanyakan, apabila pendapat orang berbeda-beda dalam memutuskan masalah tersebut akankah dibiarkan terkatung-katung begitu saja? Apakah akan terjadi proses menguatkan sesuatu tanpa ada yang dikuatkan?

Menurut Qaradhawi, logika, syara', dan fakta mengisyaratkan, harus ada sesuatu yang dipandang kuat. Apa yang dinilai kuat pada waktu perbedaan pendapat ialah yang mendapat suara dan dukungan terbanyak. Ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan dalam hadis, "Sesungguhnya setan itu bersama yang seorang, sedangkan terhadap dua orang dia lebih jauh." (HR Tirmidzi).

Tak hanya itu, Rasulullah SAW pernah menguatkan pendapat yang lebih banyak bahkan ketika berlawanan dengan pendapat Nabi. Ini disampaikan kepada Abu Bakar As Shiddhiq dan Umar bin Khattab. "Kalau kalian berdua bermusyawarah dan menyepakati sesuatu niscaya aku tidak akan berselisih pandangan dengan kalian."( HR Ahmad).

Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ketiga tahun 2009 menjelaskan, beberapa dalil yang membuktikan bahwa demokrasi tak bertentangan dengan prinsip Islam."

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya, Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS an-Nisa: 58).

Hadis Rasulullah pun menyiratkan, jabatan yang baik bukanlah jabatan yang diminta. Namun, diberikan (dipilih). "Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan pemerintahan. Sebab, apabila jabatan itu diberikan kepadamu karena engkau memintanya, jabatan itu sepenuhnya akan dibebankan kepadamu. Namun, apabila jabatan tersebut diberikan bukan karena permintaanmu, engkau akan dibantu dalam mengembannya. Jika engkau bersumpah atas suatu perkara, tetapi setelah itu engkau melihat ada yang lebih baik daripada sumpahmu, tunaikanlah kafaratnya dan lakukan apa yang lebih baik." (HR Bukhari [7147], dari Abdurrahman bin Samurah).

MUI pun mengutip pendapat al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sulthaniyah tentang penetapan imamah. Menurut al-Mawardi, jika penetapan imamah adalah wajib, tingkatan kewajibannya adalah fardhu kifayah, seperti jihad dan menuntut ilmu. Di mana jika ada orang yang ahli menegakkan imamah, gugurlah kewajiban terhadap yang lainnya. Jika tidak ada seorang pun yang menegakkannya, dipilih di antara manusia dua golongan, yakni golongan legislatif hingga mereka memilih untuk umat seorang pimpinan dan golongan pemimpin hingga di antara mereka dipilih calon pemimpin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement