REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Agama Lukman Hakim Hakim Saifuddin mengungkapkan empat materi khutbah yang dinilai menimbulkan keresahan. Pertama khatib yang menyinggung masalah khilafiyah. Kedua menyalah-nyalahkan agama lain. Ketiga memanfaatkan khutbah Jumat sebagai ajang kampanye, dan terakhir menyalah-nyalahkan ideologi negara.
Dalam masalah khilafiyah, Menag mengingatkan masjid bukan hanya milik kelompok umat Islam tertentu. Untuk itu, jamaah shalat Jumat yang hadir, juga bukan hanya dari kelompok NU, Muhammadiyah atau lainnya.
''Tapi ada khatib kita yang mengangkat masalah khilafiyah, yang seharusnya tak perlu dibesar-besaran. Ini yang menimbulkan keresahan,'' jelasnya, Jumat (2/10).
Selain itu, ada juga khotib yang menyalah-nyalahkan agama lain. Menag mengingatkan, banyak masjid berdiri di lingkungan masyarakat agamanya beragam. ''Adanya khutbah seperti ini, umat agama yang lain tentu akan merasa risih. Apalagi kalau sampai dikafir-kafirkan,'' katanya.
Demikian juga dalam ajang pilkada yang saat ini sedang berlangsung di beberapa daerah. Menag menegaskan kembali, bahwa masjid bukan menjadi tempat kampanye. Tapi ada sebagian khatib yang mengisi khutbah Jumatnya dengan membela-bela dan menjelek-jelekaan calon tertentu.
(Baca Juga: DMI Inginkan Materi Khutbah Jumat Teduh)
Sedangkan yang terakhir, Menag mendapat keluhan adanya khatib yang menjelek-jelekaan ideologi negara. ''Ini semua tentu tidak bisa dibiarkan. Sebagai represantasi pemerintah, saya salah kalau diam saja,'' katanya.
Untuk mengatasi hal itu, Menag mengaku telah mengundang para ulama baik dari MUI, NU, Muhammdiayah dan juga akademisi untuk merumuskan cara untuk mengatasi hal ini. ''Dalam pertemuan itulah kemudian muncul istilah sertifikasi/standardisasi. Padahal saya selaku Menag, tidak pernah memiliki pemikiran semacam itu,'' jelasnya.
Namun sebagai orang politik, Menteri Agama bisa mengeri bila kemudian terjadi distorsi informasi di kalangan masyarakat yang seolah-olah pemerintah menginginkan adanya sertifikasi/standardisasi ulama.