Rabu 08 Feb 2017 14:52 WIB

Menyoal Hadiah dari Undian

Rep: Ferry Kisihandi/ Red: Agung Sasongko
Undian berhadiah handphone (ilustrasi).
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seseorang hanya menunggu hadiah dari langit. Kondisi seperti itu tak sesuai dengan jiwa Islam yang selalu mendorong umatnya bekerja dengan tangannya sendiri demi hasil sebuah hasil yang diharapkan, sedangkan alasan kedua, kata al-Qaradhawi, kegiatan itu melahirkan egoisme.

Mereka yang mempunyai produk, jelas dia, terdorong menarik konsumen dengan segala propaganda dan iklan, tak memedulikan hak orang lain. Ia menambahkan, para pedagang pada masa terdahulu tak akan melakukan hal itu. Saat toko mereka penuh pelanggan, misalnya, mereka juga menganjurkan pelanggannya berbelanja di toko tetangganya. Bahkan, mereka menutup tokonya setelah hasil transaksi perdagangannya dianggap telah mencukupi kebutuhannya. Alasan ketiga, sebenarnya hadiah yang diberikan diambil dari uang konsumen sendiri. Al-Qaradhawi mencontohkan, sebuah produk mestinya bisa dijual dengan harga 90, namun karena ada hadiah harga bertambah menjadi 100.

Alasan selanjutnya, ia menilai bahwa keberadaan hadiah membuat konsumen bersifat boros karena menggiring mereka membeli barang melebihi kebutuhannya, sedangkan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam Fatwa-Fatwa Tarjih, tak mempermasalahkan hadiah melalui undian. Itu tak dilarang agama.

Majelis ini berargumen, undian diberikan pemilik toko atau produk untuk mendapatkan hadiah dengan jumlah terbatas, sedangkan jumlah pembeli lebih banyak dibandingkan hadiah yang ada. Demikian pula dengan hadiah dari bank yang dilakukan dengan cara mengundi. Sama saja dengan pemberian yang diperbolehkan Islam.”

Cara pembagian hadiah oleh bank melalui undian juga karena pertimbangan bahwa hadiah itu jumlahnya sedikit sehingga tak mungkin seluruh penabung mendapatkan hadiah dari bank tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement