REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dirjen Pendidikan Islam Kemenag Kamaruddin Amin menjelaskan, kehadiran PMA tersebut juga dianggap bakal memudahkan Ma'had Aly sebagai instrumen kelembagaan yang permanen. Terutama dalam menjawab problem mendasar umat Islam Indonesia seiring semakin langkanya kyai-ulama yang berintegritas, berkarakter, dan berwawasan kebangsaan.
Lebih lanjut, Kamaruddin menjelaskan, tiga belas Ma'had Aly ini menjadi langkah awal dalam proses revitalisasi lembaga pendidikan tinggi Islam tersebut. Tidak berhenti di situ, Kemenag juga akan berupaya mengembangkan jumlah Ma'had Aly yang telah diakui.
"Kemenag akan berupaya agar layanan pendidikan, yang diharapkan bisa mencetak sarjana (S1) dengan kualifikasi kader kyai-ulama ini, dapat dibuka di setiap provinsi di seluruh Indonesia,'' tutur Kamaruddin belum lama ini.
Tidak hanya itu, Kamaruddin berharap, para santri di Ma'had Aly tidak hanya menguasai kitab kuning, sebagai tradisi intelektual pesantren. Menurut dia, para lulusan Ma'had Aly juga diharapkan mampu mengkontekstualisasikannya dalam kehidupan kontemporer.
Mereka juga diharapkan mampu menjembatani dialog ilmu keagamaan dengan ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu budaya, dan ilmu kealaman. Hal ini sebagai upaya mewujudkan kehidupan umat manusia yang adil, maslahat, dan bermartabat.
Selain menjadi pengasuh pesantren, sarjana lulusan Ma'had Aly juga menjadi dosen di perguruan tinggi, guru profesional, penghulu di Kantor Urusan Agama (KUA), hakim agama, pegawai pemerintah di bidang keagamaan, serta anggota Dewan Pengawas Syariah ataupun profesi lainnya.
''Sementara di bidang keilmuan, lulusan Ma'had Aly juga dapat berprofesi sebagai penulis, peneliti, mubaligh, dan akademisi. Dari situ, diharapkan lulusan Ma'had Aly bisa mengisi kebutuhan masyarakat terhadap ulama yang mumpuni dan berintegritas,'' tutur Kamaruddin.