REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saya segera mengumumkan berita kematian Damanhuri di beberapa group WA Republika maupun group-group lain dan jaringan priadi. Kemudian, saya langsung meluncur dari rumah saya di Sawangan, Depok, menuju rumah kediaman almarhum di Parung, Bogor, yang berjarak sekitar tujuh kilometer.
Duka saya begitu dalam. Air mata saya mengalir, seperti saat saya ditinggalkan wafat oleh ayah dan ibu saya.
Saya ingin datang ke rumah almarhum Damanhuri dengan pakaian terbaik. Bahkan, sempat terpikir saya mau pakai gamis yang baru saja saya beli pada acara Zikir Nasional Republika yang digelar di Masjid at-Tin Jakarta, Sabtu (31/12/2016) malam. Akhirnya saya memilih pakai jas.
Tak lupa saya menggantungkan ID Card Republika di leher saya. Sampai-sampai istri saya bertanya, “Untuk apa pakai ID Card? ‘Kan mau melayat.”
Saya jawab, “Saya ingin memberikan penghormatan yang terbaik untuk Haji Daman. Saya pakai ID Card, biar keluarganya juga bangga dan bahagia atas perhatian teman-teman Republika kepada beliau.” Saya tiba di rumah duka sekitar pukul 06.30. Almarhum baru beberapa menit tiba. Namun di rumahnya yang sederhana itu sudah banyak orang yang datang.
Saya menjadi saksi, sejak pagi hingga menjelang jezanah dibawa dan dishalatkan di Masjid Riyadhus Shalihin Parung (yang berjarak sekitar 500 meter dari rumah duka), ribuan datang orang melayat. Para pelayat itu datang dari berbagai daerah di Jadebotabek.
Mereka berasal dari berbagai kalangan: ulama, guru, wartawan, pengusaha, pengurus masjid, pejabat, direksi BUMN, pengurus pondok pesantren, pengurus lembaga amil zakat, maupun masyarakat umum. Termasuk di antaranya Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang rela berjalan kaki dari rumah duka menuju Masjid Riyadhus Shalihin guna menyalatkan almarhum. Shalat jenazah dilaksanakan setelah shalat Zhuhur berjamaah, dan dipimpin langsung oleh Ketua MUI Kabupaten Bogor KH Mukri.