Selasa 03 Jan 2017 16:19 WIB

Tegas dan Taat kepada Pemimpin

Pemimpin yang berilmu (Ilustrasi)
Foto: Wordpress.com
Pemimpin yang berilmu (Ilustrasi)

Oleh: Abdul Syukur

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Al-Fakhri pernah menceritakan, suatu ketika datang kiriman kepada Khalifah Umar bin Khattab beberapa helai pakaian khas Yaman (burd). Lalu, Umar membagikannya kepada kaum Muslim, setiap orang mendapatkan satu helai kain. Umar pun mendapatkan jatah yang sama, yaitu satu helai.

Ketika naik ke atas mimbar hendak menyerukan seruan untuk berjihad, Umar memakai pakaian itu setelah dipotong dan dijahit menjadi kemeja. Tiba-tiba ada orang yang menyela seruannya seraya berkata, "Saya tidak perlu menaati seruan Anda!" Umar tersentak kaget dan bertanya, "Mengapa demikian?"

Orang itu menjawab, "Karena Anda lebih mementingkan diri Anda daripada kami. Anda seharusnya mendapatkan jatah sehelai kain burd dan untuk ukuran tubuh Anda satu potong kain itu tidak cukup karena Anda berperawakan tinggi. Namun, mengapa sekarang Anda justru memotongnya menjadi kemeja sementara untuk membuat kemeja butuh dua helai kain burd?"

Umar menoleh ke arah anaknya yang bernama Abdullah bin Umar seraya berkata, "Abdullah, jawablah!" Abdullah bin Umar pun angkat bicara, "Kain burd jatah saya yang saya berikan kepadanya agar cukup untuk kemejanya."

Orang yang sempat mencurigai Umar itu berkata, "Kalau begitu sekarang saya patuh pada seruan Anda!" Orang itu pun kembali duduk dan mendengarkan seruan jihad yang diperintahkan Umar."

Kisah ini memberi beberapa pelajaran bagi kita tentang bagaimana semestinya interaksi antara pemimpin dengan rakyatnya agar tercipta negara yang makmur, pemimpin yang adil, dan rakyat yang sentosa.

Pertama, sebagai rakyat harus berani menyuarakan kebenaran dan mengkritik apa yang dianggap salah. Rakyat yang baik bukan rakyat yang membiarkan pemimpinnya melakukan apa saja sesuai kehendaknya, melainkan rakyat yang berani melakukan koreksi terhadap tindak tanduk pemimpinnya. Sebab, ketidakpedulian rakyat terhadap perilaku pemimpinnya hanya akan melahirkan tirani yang tak tahan kritik, pemimpin yang tak siap menerima teguran, dan pemimpin yang tak sanggup melakukan perbaikan.

Maka pantas jika Rasulullah sampai bersabda, "Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang jahat." (HR Abu Dawud).

Kedua, sebagai pemimpin harus siap menerima masukan dari rakyat dan semua bawahannya karena pemimpin yang hebat bukan pemimpin yang tak pernah salah, pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang selalu berhati-hati agar tidak salah. Jika pun tetap terjerumus dalam kesalahan, ia mau menerima koreksi dan berani memperbaikinya, bukan malah membungkam orang-orang yang mengkritiknya.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan ketika pemimpin yang adil atau baik mendapatkan tempat istimewa di sisi Allah. Abu Sa'id meriwayatkan, "Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah di hari kiamat dan tempat duduknya paling dekat dengan-Nya adalah pemimpin yang adil." (HR at-Tirmidzi).

Ketiga, setelah keputusan sang pemimpin dikoreksi kemudian ternyata ia berada dalam kebenaran, maka rakyat harus mematuhi perintahnya, tidak boleh meragukannya, apalagi sampai menentangnya. Sebab, kepatuhan kepada pemimpin yang baik merupakan kewajiban bagi seluruh rakyat. Allah berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan pemegang kekuasaan di antara kalian." (An-Nisa' [4]: 59).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement